Lik Tulus yang biasa rajin mengunjungi Lincak Pak Karso, sore kemarin nampak murung memikirkan anak sulungnya yang sedang nunggu pengumuman hasil Ujian Nasional (UN) SMA besuk pagi. Ia mengeluhkan tentang masa depan anaknya yang jelas-jelas tidak akan dia beayai untuk meneruskan pendidikan ke Perguruan Tinggi, karena alasan ekonomi. Dia membayangkan setelah tidak lagi sekolah, apakah anaknya akan semakin baik atau tidak, karena lingkungan tempat tinggal dan tetangganya banyak contoh yang tidak baik. Sebagai orang tua, ia prihatin dan merasa was-was, tapi tetap sambil berdoa mudah-mudahan anaknya tetap berada pada jalan yang benar dan segera bisa mentas mendapatkan pekerjaan.

Pak Karso lalu tanggap menyapa Lik Tulus yang sedang merenung itu. Kados pundi kabare Lik, kok sajak susah? Lalu dijawabnya sambil kaget : … itu lho Pak, anak saya kalau saja besuk lulus ujian UN, bagaimana ya masa depannya? Sebagai anak yang tidak mampu meneruskan sekolah ke perguruan tinggi, lalu harus berbuat apa? Saya khawatir anak saya akan ikut-ikutan anak-anak yang lain yang “pengangguran” lalu klontang klantung ke sana ke mari.

Begini pak, menurut Teori Tri Sentra Pendidikan, pendidikan itu akan memberikan hasil yang optimal bila terjadi koordinasi yang produktif di antara tiga sentra yang ada; masing-masing adalah sentra pendidikan informal di keluarga, sentra pendidikan nonformal di masyarakat, serta sentra pendidikan formal di sekolah. Kalau seperti putra Lik Tulus nanti tidak sekolah lagi, maka sentra pendidikan nonformal dan informal-lah yang akan sangat mempengaruhi perilakunya. Dua sentra tersebut dapat saja disebut sentra sosial pendidikan, sahut Pak Karso.

Selain koordinasi dan saling pengaruh antarsentra pendidikan tersebut, di dalam sentra sosial pendidikan terutama sangat diperlukan adanya pengembangan keteladanan dari lingkungan sekitar. Dalam kultur masyarakat yang paternalistik seperti di negeri kita ini sangat diperlukan keteladanan tokoh panutan untuk membangun masa depan anak bangsa.

Tapi…. (sahut mas Warto yang juga sebagai juru warta di salah satu koran kota ini) …. toh keteladanan yang baik dan mulia pada saat ini makin lama makin sulit kita temukan dari para panutan masyarakat kita ya pak; baik dari para pemimpin (formal leader) seperti pejabat pemerintah, pemimpin organisasi, pengurus partai, dan sebagainya; bahkan juga dari para penjaga moral (moral figure) seperti tokoh masyarakat atau tokoh agama ; maupun para idola masyarakat (public figure) seperti penyanyi, artis sinetron, pemain olah raga, dan sebagainya.

Di dalam konsep Trilogi Kepemimpinan Ki Hajar Dewantara, seorang pemimpin harus bisa memberi dan sekaligus menjadi teladan (ing ngarsa sung tuladha) serta mengakomodasi secara konstruktif potensi dan kreativitas anak buah (tut-wuri handayani) ketika dirinya sedang memainkan seni kepemimpinan; di samping harus mampu membangun semangat ketika berada di tengah-tengah rakyat yang dipimpin (ing madya mangun karsa), mas Warto meneruskan penjelasannya.

Bagaimana Implikasinya di dalam konteks melawan perilaku negatif ( seperti budaya korupsi) yang sedang mewabah di negeri ini mas Warto? tanya Tomo ( putra Pak Karso, mahasiswa yang baru saja pulang kampung).

Para tokoh panutan di masyarakat apakah ia formal leader, moral figure, atau public figure, mereka haruslah berusaha menjadi bersih dari praktek-praktek sikap yang tercela agar senantiasa patut diteladani oleh masyarakat, dalam hal ini oleh anak didik atau remaja seperi putranya Lik Tulus tadi.  Pendidikan berbudi luhur bagi anak-anak kita memerlukan dukungan bersama oleh masyarakat sebagai aksi kolektifnya di lingkungan sentra sosial pendidikan . Bentuk aksi kolektif masyarakat ini bisa beraneka ragam, misalnya melalui penegakan hukum (law enforcement) terhadap pelaku tindakan tercela atau pelanggar hukum, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, etnis, agama, budaya, dan sebagainya. Hendaknya para pelanggar hukum diberi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Kalau saja hal ini telah menjadi komitmen bersama masyarakat, maka insyaallah kondisi masyarakat kita akan menjadi lebih baik karena diawasi bersama-sama.,begitu penjelasan Mas Warto.

Bentuk lain dari aksi kolektif masyarakat adalah menerapkan sistem hadiah dan hukuman (reward and punishment) di dalam kehidupan sosial. Misalnya bagi orang-orang dan/atau lembaga yang berjasa memberantas korupsi atau menutup peluang terjadinya korupsi diberi hadiah sosial, misalnya saja diberi berbagai kemudahan dalam pengurusan kepentingan sosial. Sebaliknya, orang-orang dan/atau lembaga yang melakukan tindak korupsi diberi sanksi sosial yang nyata, misalnya dikucilkan dari kehidupan masyarakat. Demikian juga, bagi mereka yang tidak terbukti melakukan korupsi ya perlu dibebaskan dari hukuman dan fitnah. Bentuk-bentuk lain dari aksi kolektif masyarakat juga dapat dikembangkan sesuai dengan karakter masyarakat masing-masing; dengan tetap memperhatikan local genius yang ada, lanjut Mas Warto yang katanya baru saja dapat ceramah dari pakar.

Masyarakat yang memberikan dukungan seperti itulah mas Warto, yang saya maksud sebagai bentuk kegiatan sentra sosial pendidikan, sela Pak Karso.

Memang kegiatan pendidikan yang terjadi di sentra sosial pendidikan seperti itu bisa merupakan cara yang mujarab untuk melawan perilaku tercela seperti tindak korupsi. Namun karena sifatnya yang evolusioner, maka hasilnya tidak mungkin dapat dinikmati dalam waktu yang cepat.

Mungkin hasilnya baru dapat dipetik belasan atau puluhan tahun ke depan. Memang untuk mengikis sesuatu yang sudah menjadi budaya, diperlukan waktu yang tidak pendek. Hal itu sudah menjadi risiko bagi bangsa kita yang sedang terpuruk ini. Mudah-mudahan putra Lik Tulus besuk pagi lulus UN dan kelak menjadi orang yang berbudi luhur dan sukses dalam hidupnya. Demikian doa Pak Karso, sambil menutup obrolan sore itu, lalu pengunjung lincak pulang satu persatu (rk)

ravikLincak Pak KarsoLik Tulus yang biasa rajin mengunjungi Lincak Pak Karso, sore kemarin nampak murung memikirkan anak sulungnya yang sedang nunggu pengumuman hasil Ujian Nasional (UN) SMA besuk pagi. Ia mengeluhkan tentang masa depan anaknya yang jelas-jelas tidak akan dia beayai untuk meneruskan pendidikan ke Perguruan Tinggi, karena alasan ekonomi....KITA akan menjadi seperti apa yang KITA pikirkan.