Sejak hadir di lincak sore kemarin wajah Pak Karso tampak murung, lalu disapa Lik Tulus yang baru datang menghampirinya. …wonten penggalih punopo, Pak? kok ketingal mboten mrarani? (Sedang memikirkan apa, Pak? Kok kelihatan bingung?)

Bagaikan  orang yang tersekap dalam ruang pengap yang dibukakan pintu keluarnya, Pak Karso   bangkit dan lalu bercerita banyak menyampaikan uneg-unegnya, yang didengarkan sesama rekan lainnya yang sudah hadir di lincak sejak tadi, antara lain Mas Warto dan Pak Dwijo. Dia memulai ceriteranya…… ”Bagaimana mungkin, suatu proses dan praktik pendidikan  bisa dilaksanakan dengan baik tanpa ilmu pendidikan?”. Itulah ungkapan  Profesor  Winarno Surakhmad,  tokoh pendidikan yang pernah membacakan puisinya ”sekolah kandang ayam” pada saat peringatan  hari pendidikan nasional dua tahun silam di Stadion Manahan Solo.

Banyaknya kasus ”negatif” yang mencuat di tengah-tengah masyarakat kita, tentunya  merupakan bagian dari  ekses  kurang tepatnya menerapkan ilmu pendidikan sebagai landasan praktik pendidikan kita.  Di kalangan ahli ilmu pendidikan, kini terjadi kegalauan bahwa ”praktik pendidikan-tanpa ilmu pendidikan”  adalah sebagai akibat  dari orientasi pragmatik di dalam  kehidupan kita sehari-hari, yang didukung oleh kepentingan praktis-pragmatis jangka pendek dan adanya ketidak-pedulian pada jangka panjang masa depan bangsa.

Berbicara tentang praktik pendidikan sangatlah berspektrum luas, yakni bisa mulai dari lingkup keluarga, di  sekolah/lembaga pendidikan dari pra sekolah sampai perguruan tinggi dan  juga di lingkungan masyarakat .

Ambillah  contoh misalnya, sepasang suami-istri yang tiba-tiba harus mengasuh anaknya karena telah berhasil melahirkan anak dari hasil perkawinannya.  Hampir-hampir dapat dipastikan kebanyakan masyarakat kita tidak mempersiapkannya dengan baik kemampuan bagaimana berkeluarga dengan ”bermodal” mendidik anak-anaknya.  Secara tiba-tiba, berjuta-juta pasangan suami-istri menjadi ”pendidik” dan mungkin akan berjalan seumur hidup atau sepanjang hayat. Mereka itu hampir pasti tidak pernah memasalahkan apakah dirinya mempunyai atau tidak ’modal’ mendidik anak-anaknya.  Kalau demikian kenyataannya, hampir pasti kebanyakan anak-anak bangsa ini dididik dalam suasana rumah tangga yang tidak menganggap penting orang tuanya harus terlebih dahulu bermodal pengetahuan bagaimana mendidik anak-anaknya. Anehnya, hal ini  selama bertahun-tahun  sudah dianggap suatu kewajaran saja.  Orang tua harus mendidik dan membimbing anak-anaknya  dengan contoh dan teladan yang baik dalam perilaku sehari-hari. Padahal, orang tua menjadi faktor penentu pembentukan kepribadian dan jati diri anak-anaknya.

Orang tua tidak lagi bisa menyerahkan urusan mendidik anaknya untuk sepenuhnya menjadi urusan sekolah, karena sekolah sudahlah pasti tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi dan sumber pengaruh dominan pembentuk kepribadian dan jati diri anak. Ambil contoh lagi, setelah anak-anak kita  dididik dalam ‘pendidikan keluarga’ tadi, lalu pada usia 0-5 tahun para orang tua sudah disodori peran oleh PLAY GROUP (PG) dan taman kanak-kanak (TK). Tentulah para orang tua harus waspada. Di PG dan TK kadang-kadang  kualifikasi pendidiknya  diketemukan sedapatnya, dengan pengetahuan sekedarnya, kemudian dipekerjakan sebisanya, yang mengajar sekenanya, dengan pengetahuan seadanya. Padahal di tempat ini, merupakan kali pertama anak-anak bangsa ini  dibentuk tetapi sekaligus juga bisa dihancurkan kemampuan bernalarnya.  Bagaimana mungkin kita bisa mendapatkan guru-guru PG/TK yang baik dan berkualifikasi tinggi, jika para guru itu hanya diberikan imbalan gaji seadanya dan hanya bisa hidup seadanya pula. Bukankah perhatian kita bersama terhadap pendidikan yang paling awal ini masihlah sangat kurang?. Sadarkah bahwa kita selama ini telah menyerahkan  “pembentukan karakter dan kemampuan bernalar” anak bangsa ini kepada mereka yang tidak kita beri perhatian dan imbalan yang cukup, sehingga kemudian bisa mengantarkan anak-anak kita  ke taraf yang lebih baik secara optimal?

Lik Tulus menyahut.  Selama ini, anak-anak saya  melalui  sekolah di TK dan sudah bisa nyanyi, bisa ngaji, bisa menari dan lain-lain… Lalu, apa ada yang salah pak Karso?

Orang-orang tidak salah bisa nyanyi, bisa ngaji dan menari atau… bisa apa saja. Tetapi, … janganlah terlalu mudah “mendidik” direduksi atau disederhanakan hanya sekedar “mengajar”, yaitu memindahkan suatu pengetahuan ke orang lain. Pendidikan adalah “membentuk generasi, membentuk karakter bangsa, dan guru bukan sekedar mengajar tetapi mendidik anak bangsa”, .. sahut Pak Karso.

Praktik pendidikan  kita di tingkat SD sampai SLTA selalu saja digoncang    dan dihadapkan  kepada  kebijakan “gonta-ganti” kurikulum yang tak pernah selesai.  Padahal kurikulum bukanlah satu-satunya jalan keluar dari permasalahan-permasalahan pendidikan kita. Tiap tahun orang tua selalu dihadapkan juga pada kecemasan sistim evaluasi pendidikan seperti UAN dan bagaimana menghadapi sistim seleksi melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.

Keluh kesah anak dan orang tua merupakan ekses dari praktik pendidikan  yang dianggap tidak memiliki landasan  orientasi jangka panjang,  seakan membawa orang menuju suatu arah yang tak pasti. Orang tua mengirim anaknya ke suatu lembaga pendidikan diiringi dengan suatu kecemasan ketidakpastian, karena lembaga pendidikan kita tidak memberikan secara pasti  bukti atas janji-janji masa depan anak. Guru-guru/pendidik kita di depan kelas kadang-kadang lebih berperan sebagai “tukang mengajar” katimbang mendidik anak. Belum semua guru kita telah kompeten dan masih perlu mengejar syarat cukup kualifikasi yang seharusnya. Kebijakan pendidikanpun yang diambil oleh pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, seakan hanya berspektrum pendek selama masa jabatan dari para pejabat tersebut. Penetapan kebijakan pendidikanpun kadang dilakukan oleh orang yang belum tahu benar dan kompeten dalam hal  “kemana seharusnya arah pendidikan ini dibawa”. Penunjukan pejabat di bidang pendidikanpun terkadang kurang memperhatikan kompetensi tersebut.

Wah.. wah.. wah .. Pak Karso ini kok  seperti seminar saja, tegang sekali!.  Bagaimana dengan praktik pendidikan seperti di STPDN? Apakah ini juga merupakan ekses dari rentetan panjang seperti di atas? Sela Pak Dwijo.

Saya kira, benar, Pak, sahut Pak Dwijo meneruskan. Mendidik orang tidaklah sama seperti mencetak barang-barang yang tak bergerak. Saya jadi mempertanyakan orientasi pendidikan para dosen dan pimpinannya di sana. Apakah mereka berbekal “ilmu bagaimana mendidik manusia”. Demikian juga  kami mempertanyakan kepada pengambil kebijakan, bagiamana menetapkan syarat dan memilih  calon dosen dan lalu mengembangkan profesi dosen tersebut di sana. Dapat diduga “syarat penguasaan” tentang ilmu mendidik mungkin ditiadakan bagi dosen di sana, setidaknya mungkin  dianggap tidak penting. Padahal, untuk menjadi dosen suatu perguruan tinggi atau guru di sekolah haruslah menguasai setidaknya meliputi materi yang diajarkan, bagaimana mengajarkan (mendidik dan mengajar), dan mampu berkepribadian  sebagi contoh perilaku bagi murid-murid atau mahasiswanya. Sayangnya praktik pendidikan seperti di STPDN ini tidaklah hanya terjadi di sana saja, tapi saya duga juga terjadi di lembaga pendidikan lainnya di tanah air ini. Kita memang sudah terlalu lama menganggap sepele ilmu pendidikan itu dalam praktik pendidikan, dan anehnya  hal itu dianggap bukan kesalahan serius.

Lalu, terus bagaimana harus menata praktik pendidikan kita, Pak Karso? Sela mas Warto.

Pak Karso berpikir sejenak, lalu…. menjelaskan. Usul saya, bangsa ini harus memperhatikan dan manata ulang pendidikan mulai sejak usia pra sekolah dengan baik sebagai landasan pendidikan kita. Pendidikan anak usia dini (PAUD) harus benar-benar mendapatkan perhatian baik oleh negara, orang tua mapun masyarakat. Kesadaran atas pentingnya pendidikan di tingkat landasan ini harus dipahami dan diikuti oleh semua pihak baik pemerintah dan lembaga pendidikan, orang tua  maupun seluruh lapisan masyarakat.  Ada tiga hal yang paling utama harus dilakukan dalam pendidikan landasan ini, yaitu: (1) meletakkan dasar-dasar sikap dan kepribadian, serta pembentukan karakter bangsa, sehingga mereka  siap beradaptasi dengan perubahan di  masa depan (2) membentuk perilaku “belajar tiada henti”, dan  (3) mengarahkan mereka memiliki daya saring (filter system) untuk memilih mana yang baik dan yang tidak baik untuk dirinya  dalam mengembangkan/mempertahankan jati dirinya. Tiga hal tersebut harus diteruskan secara berkesinambungan diberikan pada jenjang pendidikan di atasnya dan  sesuai dengan usia perkembangannya. Kita harus bersabar menunggu hasil  dan konsisten atas semaian dari landasan ini.  Mungkin baru 10 sampai 15 tahun yang akan datang kita akan dapat menuai hasil membentuk generasi bangsa ini seperti yang kita harapkan. 

Tentu saja, lalu bukan berarti yang sudah ada dan berjalan ini dibiarkan saja. Hal ini harus tetap kita kelola dengan sebaik-baiknya. Kita harus menyadari bahwa terdapat  banyak variabel penentu dalam menuju keberhasilan pendidikan kita, saling kait mengkait dan mempengaruhinya. Namun, kita harus konsisten berorientasi pada  jangka panjang dengan memulai menyemai untuk  generasi masa datang. Kita tidak menyiapkan generasi secara sepotong-sepotong, tapi menyeluruh. Praktik pendidikan juga harus segera meninggalkan “pendidikan tanpa ilmu pendidikan”.  Kita semua harus siap berintrospeksi, menyadari kekurangan dan kesalahan, serta meninggalkan perasaan paling benar, untuk menggapai masa depan bangsa yang lebih baik.

Hari sudah sore, masing-masing yang hadir pulang menuju rumahnya masing-masing sambil menerawang masa depan….  Semoga. (rk)

 

ravikLincak Pak KarsoSejak hadir di lincak sore kemarin wajah Pak Karso tampak murung, lalu disapa Lik Tulus yang baru datang menghampirinya. ...wonten penggalih punopo, Pak? kok ketingal mboten mrarani? (Sedang memikirkan apa, Pak? Kok kelihatan bingung?) Bagaikan  orang yang tersekap dalam ruang pengap yang dibukakan pintu keluarnya, Pak Karso   bangkit dan lalu...KITA akan menjadi seperti apa yang KITA pikirkan.