Suasana was-was dan deg-degan karena adanya himbauan dan pengumuman dari status  “waspada” menjadi “siaga” gunung Merapi juga terasa bagi warga di sekitar lincak Pak Karso sore itu. Tiba-tiba Mas  Margo yang  sehari-hari sebagai penjual keliling roti surungan itu nyeletuk bertanya: “….apa sih yang seharusnya dilakukan, untuk mengantisipasi kalau saja sampai gunung Merapi meletus, Pak?. Setahu saya, hal ini toh sudah menjadi ”peristiwa rutin tahunan” , bahkan sudah ada keyakinan penduduk bahwa kalau saja gunung Merapi meletus, sesudahnya malahan menimbulkan kesuburan yang luar biasa bagus bagi pertanian. Letusan gunung Merapi juga telah menjadi obyek wisata  terkenal, termasuk obyek wisata Ketep Pass di Kecamatan Selo Boyolali, karena  Merapi merupakan gunung berapi paling aktif di dunia. Bukankah, letusan itu sebenarnya juga setengah diharapkan, kan Pak? sambungnya.

Hus, …. kepriye tho mas, bencana kok diharapkan”, sahut Pak Karso, lalu menjelaskan. Saat ini, gejala-gejala akan terjadinya letusan Merapi telah membikin sebagian warga tidak lagi nyenyak tidurnya, sudah ada tanda-tanda  seperti telah mulai turun hujan abu, ada getaran gunung, hewan-hewan seperti Ular dan Macan atau Kera sudah mulai turun gunung pertanda sudah mulai gerah kepanasan. Penduduk juga mulai tampak  wasa-was sambil terus berdoa di surau, di masjid dan tempat ibadah lainnya agar Tuhan memberikan keselamatan kepada mereka.  Tapi, sebaliknya ada juga orang-orang yang tetap saja tenang-tenang seakan tidak memedulikan  ancaman bahaya yang setiap saat mengintai mereka itu.

Kewaspadaan  dan antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya bencana juga telah terlihat dari kesiapan Tim Satkorlak, SAR dan petugas sosial lainnya  Bahkan pemerintah pusat melalui Depsos  dan instansi terkait lainnya konon telah menyiapkan dana lebih dari Rp. 400 milyar  untuk evakuasi penduduk. Jadi, suasana di sana sudah  “siaga” benar, mengantisipasi terjadinya  letusan Merapi. Saat ini tinggal nunggu komando dari Balai Penyelidikan  dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian ( BPPTK) Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Kegunungapian, apakah status status SIAGA akan ditingkatkan menjadi   AWAS. Penduduk akan dievakuasi atau harus meninggalkan lokasi tempat tinggalnya, jika  status AWAS telah ditetapkan. Ini berarti lembaga itu telah memukul loncengnya. Bunyi lonceng itulah yang membuat was-was dan deg-degan banyak orang saat ini– termasuk kita,  jelas Pak Karso.

Tapi,… mengapa masih ada orang yang  tenang-tenang saja, seakan tidak menghiraukan suasana di sekitar mereka itu, Pak? tanya Lik Tulus yang telah hadir sejak tadi.

Bagi yang  sudah lama tinggal di sekitar gunung Merapi, mereka tahu telah mengembangkan apa yang disebut sebagai   “kearifan budaya lokal”  seperti ilmu titen dan  pandangan tradisional lainnya yang dikembangkan sejak dulu . Orang-orang tua sebelum mereka secara turun-temurun mewariskan dan menjelaskan tanda-tanda atau gelaja-gejala alam lainnya sebagai pertanda kapan gunung Merapi akan meletus.  Salah satu kepercayaan yang mereka yakini adalah munculnya petunjuk danyang  Mbah Petruk. Hingga saat ini, danyang tersebut belum pernah muncul, sehingga mereka ayem-ayem atau tenang saja. Itulah sebabnya, mengapa mereka masih tenang-tenang saja, jelas Pak Karso..

Dari pemantauan saya di lokasi dekat gunung itu, memang suasana tradisional sudah mulai terkikis sedikit demi sedikit. Misalnya, kenthongan titir sebagai tanda komando atau informasi sudah lebih banyak digantikan oleh pengeras suara masjid.  Kuasa pemberi tanda-tanda akan terjadinya letusan gunung hampir sudah didominasi oleh BPPTK, dan banyak perilaku tradisi misalnya kenduri dan sesaji  juga sudah banyak ditinggalkan warga, sahut Mas Warto (yang sehari-hari sebagai juru warta di koran kota ini) yang sejak tadi bergabung.

Ini artinya, seharusnya masyarakat sudah lebih banyak percaya kepada  teknologi modern dibandingkan terhadap mitos-mitos lama dan kepercayaan tradisinonal  mereka. Mereka semestinya juga sudah  segera siaga untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi bencana tersebut, kan Pak?  Tapi, nyatanya tidak demikian, sahut Lik Tulus.

”Betul, Lik”, sahut Pak Karso. Tapi… jangan beranggapan bahwa  mereka yang tampak tenang-tenang tersebut bukan berarti tidak melakukan upaya apapun untuk keselamatan dirinya. Mereka juga telah membuat kalkulasi tersendiri. Kehidupan mereka yang sudah bertahun-tahun di tempat itu, tentu telah belajar banyak dari pengalaman yang terjadi sebelumnya. Harapan mereka, pasrah sepenuhnya kepada pemerintah dan pihak yang bertanggung jawab bidang pengendalian  gunung berapi. Mereka berharap mudah-mudahan pihak tim dan pemerintah tadi bisa mengendalikan dengan teknologi tertentu, sehingga letusan hanya terjadi seperti pada saat 1998 gunung Merapi meletus.  Waktu itu adalah letusan klasik, magma bisa keluar secara perlahan-lahan, sehingga tidak mengancam keselamatan jiwa orang-orang yang tinggal di sekitarnya itu. Mudah-mudahan Tuhan mengabulkannya juga.

Kalau saja seperti itu yang terjadi, maka kekhawatiran atas keselamatan masyarakat sekitar  Merapi tidak usah dirisaukan lagi, sahut Lik Tulus.

Memang, kita perlu juga menghormati budaya lokal yang berkembang di masyarakat sekitar Merapi tersebut, bagaimana mereka menyikapi dan  mengatasi akan terjadinya letusan gunung tersebut, kata Mas Warto.  Bagaimana caranya, mas? Sahut  Mas Margo.

Kerarifan lokal biasanya merupakan kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam dan sumberdaya dalam menjaga keseimbangan ekologis masyarakat setempat yang sudah berabad-abad teruji oleh kejadian sebelumnya. Di satu sisi kita telah dibantu dengan adanya teknologi pemantauan gunung berapi yang canggih, tetapi di sisi lain kita masih dihadapkan dengan sistim kepercayaan dan nilai yang telah berakar di masyarakat tersebut. Mudah-mudahan para pengambil keputusan bisa memahami dan memadukan kedua sisi pandang tersebut, sehingga dapat menempuh cara yang bijaksana dan  terbaik. Memaksa mereka tanpa paham apa yang seharusnya mereka lakukan juga sesuatu yang keliru, tetapi membiarkan mereka terkena bencana akibat ketidak-tahuannya juga salah.

Dalam kondisi seperti ini, lanjut pak Karso, yang penting semua pihak haruslah dalam posisi kesiagaan, paham masalah dan tepat dalam mengambil tindakan, baik itu masyarakat maupun pejabat pemerintah dan mereka semua yang peduli.

 Di bawah gunung Merapi itu, kini kita tahu terdapat sekitar  56.440 orang penduduk yang ”terancam” keselamatannya. Sudah banyak bencana melanda negara kita akhir-akhir ini,  semoga Tuhan  melindungi mereka dari bencana gunung berapi. Semoga justru Merapi menghadirkan harapan dan kenyatan kehidupan yang lebih baik bagi mereka dan umat yang lebih banyak, dan bukan sebaliknya.  Semua yang hadir menyambut dengan koor ” amiiin”, lalu pulang menuju rumah masing-masing (rk).  

ravikLincak Pak KarsoSuasana was-was dan deg-degan karena adanya himbauan dan pengumuman dari status  “waspada” menjadi “siaga” gunung Merapi juga terasa bagi warga di sekitar lincak Pak Karso sore itu. Tiba-tiba Mas  Margo yang  sehari-hari sebagai penjual keliling roti surungan itu nyeletuk bertanya: “….apa sih yang seharusnya dilakukan, untuk mengantisipasi kalau saja...KITA akan menjadi seperti apa yang KITA pikirkan.