GELAR AKADEMIK DAN KONSEKWENSINYA
Tiba-tiba Mas Tomo anak pak Karso marah-marah sambil men”ceramahi” pengunjung lincak sore kemarin. Dia menjelaskan bagaimana sulitnya waktu dia menjadi mahasiswa kuliah di kampusnya di kota pelajar beberapa waktu lalu. Sebagai mahasiswa ia memulai dengan ikut penyaringan test masuk, lalu mengikuti “perpeloncoan” dari kakak-kakak seniornya, harus ikut kuliah setidaknya 75% dari dosen-dosennya, membuat tugas-tugas mingguan, mengerjakan praktikum, harus menulis paper yang kadang-kadang terpaksa tidak tidur semalaman karena menyelesaikan tugas dosen untuk esuk harinya, dan alhamdulillah kemudian diwisuda menjadi sarjana.
Dia lalu menceritakan bagaimana sulitnya menulis skripsi yang harus mencari literatur ke banyak perpustakaan di berbagai perguruan tinggi, harus mengumpulkan data ke masyarakat, membuat janji bertemu dengan dosen untuk berkonsultasi, dan lain-lain suka dan dukanya. Itupun dari semester ke semester ia harus memenuhi persyaratan adiministrasi yang berupa membayar SPP dan iuran lainnya dengan jumlah tertentu serta pada waktu yang telah ditentukan, dan jika terlambat harus mendapatkan sanksi. Pendek kata ia ingin menjelaskan kepada yang hadir di lincak tersebut bahwa “tidak mudah meraih gelar kesarjanaan” yang disandangnya saat ini, dan untuk menjadi sarjana harus mempunyai persyaratan tertentu.
Lik Tulus yang ada di sampingnya lalu menyahut: wah-wah- wah…jebul rekoso tenan yo mas untuk bisa menjadi sarjana itu. Seraya ia bertanya: …. tapi, lalu apa maksudnya Mas Tomo tiba-tiba marah-marah dan ber “ceramah” panjang tadi? Lho…., piye tho Lik, opo sampeyan ora moco koran sing kerep nyritakke bab gelar palsu? Sahut Mas Tomo dan lalu dijawab sendiri. Saya sangat mendukung usaha-usaha Polisi dan Departemen Pendidikan Nasional yang bekerjasama akan menindak pelaku pemberian gelar aspal alias asli tapi palsu. Terhadap orang orang yang melanggar aturan harus diberikan sanksi. Setahu saya, sesuai dengan UU No.20 tahun 2003 sanksinya berat. Misalnya pemberi gelar dapat dikenai pidana sepuluh tahun penjara dan denda Rp.1 milyar, dan penggunanya dapat dikenai pidana lima tahun penjara dan denda Rp.500 juta.
Pak Karso lalu menyela, sambil menjelaskan tentang alasan mengapa ada orang yang berusaha mendapatkan gelar aspal tersebut dengan jalan pintas. Menurut Pak Karso, dalam pandangan sosiologis hal ini sangat erat dengan harapan akan peningkatan status sosial seseorang. Orang yang memiliki gelar akademik baik langsung maupun tidak langsung dipercayainya akan dapat menduduki status sosial tertentu di lingkungan masyarakatnya. Ia akan mendapatkan hak-hak istimewa karena gelarnya, baik secara ekonomis, sosial, budaya, dan hak-hak ikutan lainnya. Ijazah dan gelar dianggap akan merupakan “tiket” untuk meningkatkan status sosial, jabatan dan lain-lain di tempat ia berada. Alasan yang paling mendukung dari sisi sosial budaya adalah karena masih adanya orientasi masyarakat yang lebih menghargai atau memandang seseorang dari sisi gelar yang disandang dari pada kinerjanya. Inilah yang menghidup-suburkan praktik jual-beli ijazah dan gelar aspal tersebut. Jadi, kalau masyarakat kita tidak lagi terlalu mengagung-agungkan gelar dan lebih menghargai seseorang dari kinerjanya, maka dengan sendirinya praktik tersebut akan hilang.
Mas Tomo menyela dan bertanya: lalu, …. apa usaha yang tepat saat ini untuk memutus praktik ijazah dan gelar akademik aspal tadi, Pak?
Negara harus tegas menerapkan aturan yang ada. Saat ini Polisi hendaknya serius mengusut para pelaku dan menerapkan sanksi sebagai cara law-inforcement agar para pelaku dapat jera dan tidak diikuti oleh orang lain. Masyarakat harus merubah orientasi dan pandangan bahwa kegiatan belajar di sekolah atau perguruan tinggi bukanlah semata kalkulasi ekonomis, sehingga muncul pandangan bisa membeli ilmu atau ijazah. Gelar hendaknya tidak sekedar topeng kepalsuan dan kebanggaan semu bagi pemakainya. Kegiatan pendidikan adalah investasi sumberdaya manusia menuju suatu kualitas yang diharapkan dengan suatu standar kompetensi dan kualifikasi tertentu yang harus dikuasai untuk kelangsungan hidup manusia dan khususnya suatu bangsa. Demikian Pak Karso, menjawab pertanyaan mas Tomo.
Lalu Pak Karso sambil mengingat dan menyempurnakan pendapat temannya, yaitu Bahtiar (2005) meneruskan penjelasannya bahwa terdapat beberapa konsekwensi tertentu dari suatu gelar akademik bagi pemakainya. Pertama, gelar akademik seharusnya terkait dengan berbagai persyaratan, proses dan prosedur belajar-mengajar yang sudah dijalaninya selama yang bersangkutan mengikuti pendidikannya. Kedua, penyandang gelar akademik dipandang telah memiliki kompetensi dan wawasan sesuai bidang ilmunya. Ketiga, penyandang gelar akademik mempunyai hak dan kewajiban yang melekat untuk peningkatan kualitas hidupnya maupun untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan pengabdiannya yang terkait dengan kompetensinya. Keempat, penyandang gelar akademik ( untuk sarjana, misalnya) akan mengandung nilai-nilai moral dan komitmen yang berhubungan langsung dengan Tuhan, terutama saat yang bersangkutan mengucapkan janji atau ikrar prasetya sarjana. Kelima, gelar akademik seharusnya terkait dengan komitmen pengabdian dan sekaligus menjunjung tinggi dan kehormatan almamater pemberi gelar. Dengan demikian akan terbentuk komunitas almamater yang saling menjaga dan mengusahakan kebanggaan sesama anggota komunitas tersebut.
Pak Margo yang juga sejak tadi ikut mendengarkan obrolan tadi, bertanya:.. apakah hal seperti ini akan menimbulkan masalah bagi masyarakat kita untuk masa depan, Pak?. Toh dalam kenyataannya, saat ini telah banyak yang melakukannya.
Lalu, jawab Pak Karso: ..”jika hal-hal yang merupakan konsekwensi dari gelar akademik tersebut tidak diperhatikan oleh pemakainya, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi efek karambol, yaitu selain telah membohongi dirinya sendiri juga mungkin akan membohongi dan menipu serta merugikan orang lain”. Untuk efek jangka panjang, jika yang bersangkutan mendapatkan posisi tertentu dalam masyarakat atau dalam jabatan tertentu, maka akan sangat mungkin berdampak selain pada dirinya yang dalam sepanjang hidupnya telah berperilaku pura-pura dan terus akan menutupi kepura-puraannya itu, ia akan cenderung berperilaku tidak fair kepada sesama ( baik itu keluarga, masyarakat sekitar, anak buahnya, dan lainnya) karena menutupi kepura-puraannya tersebut. Suatu masyarakat yang di dalamnya terdapat orang-orang seperti ini, yang apabila tidak segera bertaubat atau menyadari kesalahannya, tentu akan mempengaruhi kualitas generasi bangsa di masa yang akan datang.
Wah…. pusing saya Pak memikirkannya, sahut Mas Tomo. Lalu kita harus bagaimana, Pak?
“Saya kira, ..harus kita mulai dari kita sendiri masing-masing”, sahut Mas Warto yang sejak tadi hanya diam tapi ikut memperhatikan. Maksudnya, setiap kita harus bersikap untuk tidak menyetujui atau memberi peluang dan kesempatan terjadinya praktik gelar akademik palsu tersebut. Kita mulai dari keluarga kita untuk mencegahnya. Sejauh kita bisa, sebaiknya kita membantu upaya-upaya “yang berwajib” melakukan tindakan tegas terhadap kasus ini. Kita harus menberi dukungan kepada usaha-usaha menindak praktik yang sudah terjadi, baik kepada para pengguna gelar akademik aspal ( sebagai korban) dan terutama kepada lembaga pemberi gelar tersebut agar mata rantainya dapat terputus. Kita juga harus melakukan tindakan pencegahan. Itupun bisa dimulai dari diri kita dan keluarga kita untuk tidak setuju, apalagi ikut-ikutan menjadi pelakunya.
Karena sudah agak lama obrolan mereka, lalu Pak Karso mengajak bubaran, sambil seluruhnya terdiam menuju rumah mereka masing-masing, sambil termenung dan menerawang masa depan. Semoga kehormatan dunia pendidikan bangsa ini terjaga dan terlindungi dari kehancuran masa depannya. Amin (rk).
https://ravik.staff.uns.ac.id/2009/11/05/gelar-akademik-dan-konsekwensinya/Lincak Pak KarsoTiba-tiba Mas Tomo anak pak Karso marah-marah sambil men”ceramahi” pengunjung lincak sore kemarin. Dia menjelaskan bagaimana sulitnya waktu dia menjadi mahasiswa kuliah di kampusnya di kota pelajar beberapa waktu lalu. Sebagai mahasiswa ia memulai dengan ikut penyaringan test masuk, lalu mengikuti “perpeloncoan” dari kakak-kakak seniornya, harus ikut kuliah setidaknya...ravik ravik@uns.ac.idAdministratorRavik Karsidi Blog