Sebagai orang yang dituakan di kampungnya, Pak  Widodo (Pak Wi) benar-benar merasakan  suatu kegalauan luar biasa karena  mendengarkan cerita tentang banyaknya kasus kekerasan atau penganiayaan terhadap murid-murid sekolah oleh gurunya, dan sebaliknya, juga  adanya perlakuan kasar murid-murid terhadap para guru-gurunya.  Menurut yang diingatnya, hampir seluruh kegiatan di masyarakat  dan di lembaga-lembaga yang ada, sebenarnya telah ada suatu peraturan yang dijadikan pedoman  sebagai  pranata sosial bagi setiap orang dalam berhubungan dan bagaimana memperlakukan orang lain. Tetapi, kenapa   di lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tempat persemaian generasi harapan bangsa masa depan justru terjadi hal yang demikian?. Itulah kegalauan Pak Wi,  yang  kemudian menjadi bahan obrolan di lincak Pak Karso sore kemarin.

Pak  Wi yang kerso mampir di lincak Pak Karso lalu dikerubungi banyak  orang yang kebetulan sama-sama mampir di lincak, dan lalu kemudian ia ingin mengecek kepada yang hadir apa benar-benar  bahwa telah terjadi pemukulan murid sekolah oleh gurunya? Benarkah hal itu (seperti di koran) juga terjadi tidak saja di dekat kampung ini tetapi di tempat-tempat lainnya?.

Mas Warto, jurnalis kita, lalu nyambut dengan dehem: … eh.. em..eem, sambil senyam-senyum di kulum, karena merasa berjasa  menyebarkan berita tersebut. Lalu disambung menjawab pertanyaan Pak Wi tadi:… saya melihat sendiri, Pak. Kejadian tersebut memang benar adanya.  Ada guru menyiksa muridnya, …dan ada murid-murid berani  dan mengancam keselamatan gurunya. Masyaallah!. Saya sendiri semula juga ragu, tidak percaya, tapi begitu tahu sendiri yang sesungguhnya, saya lalu ikut ngelus dada. Kok yo kebangeten tho masyarakat kita ini, begitu yang saya rasakan, Pak.

Yang jadi kegelisahan saya adalah, kalau hal tersebut benar-benar seperti berita korannya mas Warto tadi, ….. apa sih sebenarnya yang menjadi penyebab utama dan penyebab lainnya, sehingga terjadi hal yang demikian?, sahut Lik Tulus  yang sudah bergabung sejak tadi.

Pada saat ini, keadaan masyarakat kita memang sedang berubah. Aruran-aturan, norma-norma sosial, dan perundang-undangan negara sekalipun tampaknya kurang bisa mampu mengatur apa yang seharusnya harus diatur.  Masyarakat kita sedang berada dalam suatu suasana ”menikmati kebebasan yang kebablasan”.  Setelah sekian waktu merasa terkungkung dengan adanya tekanan atau represi yang luar biasa ketat dari penguasa, kini merasa seperti baru saja keluar dari ”kerangkeng penjara kebebasan” . Hanya, tampaknya dalam pemahamannya beberapa diantaranya telah salah  menerapkannya, sehingga kebablasan. Bebas itu toh tidak harus berarti bisa sak kepenake dewe. Ungkapan yang tepat, mungkin: kaduk wani kurang dugo,  karena bagaimana  seharusnya ia bertindak, tidak tahu. Aturan-aturan lama dianggapnya sudah tidak cocok lagi dengan keadaannya yang sekarang, sementara aturan yang baru belum ditemukan.  Banyak kalangan hanya mengoper aturan orang lain atau bangsa lain, sementara orang yang lainnya lagi menganggapnya tidak cocok. Lalu, muncullah ketegangan-ketegangan hubungan orang satu dengan yang lain, kelompok satu dengan kelompok lain, atau kelompok dengan anggotanya, bahkan tidak jarang lalu terjadi konflik di antara mereka. Setiap Pemda pun  bersama DPRDnya ikut sibuk juga membuat Perda untuk mengatur warganya, tetapi kadang tidak efektif dan tidak dipatuhi. Tidak jarang juga ada aturan lokal dibuat dengan Perda tertentu, tetapi kadang bertentangan dengan peraturan perundangan negara yang lebih di atasnya.  Itulah keadaan masyarakat kita saat ini. Demikian pak Karso menjelaskan.

Lalu apa ada  hubungannya dengan kasus guru menganiaya murid, dan murid yang berani mengancam guru, Pak? tanya Pak Dwijo, guru SD sepuh di kampung ini.

Ada , Pak !.  Jawab Pak Karso, lalu menjelaskan. Dalam aturan lama yang sama-sama disepakati, dulu peran guru selalu dalam fungsi mengatur dan mengarahkan anak didiknya sesuai kehendak guru menjalankan tugas sekolahnya, yaitu mengajar dan mendidik.  Dengan penuh tanggung jawab, guru bahkan siap disebut ” harus bisa digugu dan ditiru” oleh murid-muridnya. Guru adalah figur berwibawa. Anak muridnyapun sepakat atas aturan, bahwa dirinya dalam posisi harus diatur dan tunduk patuh terhadap apa kata dan kehendak guru. Baginya, guru adalah segala-galanya. Panutan dan patronnya. Murid sangat yakin bahwa apa yang disuruhkan dan diatur oleh guru  bagi dirinya adalah suatu kebenaran, maka ia lalu harus mengikutinya. Guru harus mengatur dan sebaliknya murid harus diatur, itulah peraturan dulu.

Kini, semuanya sudah berubah, sejalan dengan perubahan masyarakat kita tadi. Guru sudah  tidak lagi menjadi satu-satunya sumber belajar. Peran guru, kini, lebih sebagai penunjuk jalan dan membantu memfasilitasi muridnya agar mau belajar, seperti yang seharusnya mereka inginkan.  Dan, itu bukan berarti karena guru boleh tidak berwibawa. Tapi, karena memang tuntutannya sudah berubah. Kalau ada guru ”memukul” muridnya dengan alasan memberi hukuman atau sebagai alasan tindakan pendidikan agar muridnya berperilaku ”lebih baik”, gurupun masih harus  berhati-hati agar tidak kena tuduhan melanggar HAM anak. Kadang-kadang orang tua muridpun ikut dalam arus pandangan yang demikian. Orang tua juga gampang naik ”pitam”  karena diwaduli anaknya.  Masyarakat kitapun demikian juga. Tapi, kita lupa, bahwa  aturan, atau per(atur)an yang mana yang kita gunakan sebagai aturan main ternyata belum kita sepakati bersama. Masing-masing dengan cara pandangnya sendiri, lanjut Pak Karso. 

 Lalu, bagaimana kita harus menyikapi adanya kasus penganiayaan guru kepada murid ini? Sahut Pak Wi.

Begini Pak Wi, sahut Pak Karso lalu meneruskan…Yang jelas, janganlah kita gampang  menyalahkan salah satu diantaranya, atau siapapun. Masalahnya  komplek. Cara pandang satu dengan yang lain juga bisa berbeda. Kalau seorang guru melakukan pemukulan sama sekali tidak dikaitkan dengan pemberian hukuman dan/atau upaya pengubahan perilaku muridnya, kiranya guru jelaslah salah. Sebaliknya, jika sampai terjadi kekerasan guru atas murid karena adanya ancaman oleh murid atau sebaliknya, jelaslah ini tentu bukan tindakan pendidikan, tapi lebih tepat disebut  sebagai tindak kekerasan .

Pak Wi sambil menarik napas panjang…., lalu berkata : … Saya hanya bisa menyarankan saja, mudah-mudahan anak-anak murid kita ( kalaulah ia terlanjur salah)  tidak akan diperlakukan terus untuk dicela, karena justru kemudian ia akan memaki gurunya. Mereka juga jangan dimusuhi, karena ia justru nantinya akan melawan guru dan masyarakatnya.  Jangan dicemaooh, agar mereka tidak menjadi generasi yang rendah diri. Doronglah dan beri motivasi mereka supaya memiliki kepercayaan diri sebagai bangsa yang bermartabat.

Bagi orang setua saya, yang  pensiunan guru ini, kini lalu saya jadi tahu, sela Pak Guru Dwijo. Bahwa perkembangan sekolah memang tidak bisa lepas dengan perkembangan masyarakatnya. Kalau masyarakatnya saat ini sedang berubah, sekolahpun akan ikut terpengaruh.  Menurut guru saya dulu, dia bilang bahwa sekolah atau lembaga pendidikan seharusnyalah  yang merubah masyarakat, tetapi hal itu kelihatan sulit untuk diharapkan pada saat ini. Baru saja, saya disadarkan dengan kasus ini.  Diapun  lalu pamit, dan…. dikuti yang lainnya. Kepareeeng, ……. wassalam (rk).

ravikLincak Pak KarsoSebagai orang yang dituakan di kampungnya, Pak  Widodo (Pak Wi) benar-benar merasakan  suatu kegalauan luar biasa karena  mendengarkan cerita tentang banyaknya kasus kekerasan atau penganiayaan terhadap murid-murid sekolah oleh gurunya, dan sebaliknya, juga  adanya perlakuan kasar murid-murid terhadap para guru-gurunya.  Menurut yang diingatnya, hampir seluruh kegiatan di masyarakat  dan...KITA akan menjadi seperti apa yang KITA pikirkan.