KURIKULUM
Pak Dwijo, guru Sekolah Dasar di kampung ini sudah lama tidak datang di lincak Pak Karso, tiba-tiba mak gloso sambil berucap assalamu alaikum dan bergabung dalam kerumunan lincak sore itu. Sambil menghela nafas panjang, di raut wajahnya tampak sedang berpikir kebingungan. Lalu, Pak Karso menyapanya:…. Ada apa tho mas Dwijo kok tampaknya sedang kagungan penggalih abot? Apa kabarnya, sudah lama tidak rawuh ngrumpi di sini, sahut Mas Margo yang sehari-hari sebagi penjual roti surungan/grobag. Monggo dipunduti roti saya ini, isih anyar-anyra lho, saya dengar baru saja terima rapelan kenaikan gaji 15 %.
“Begini, lho pak Karso. Baru dua hari yang lalu pengelola sekolah kami mengundang para wali murid, untuk menjelaskan tentang rencana rehabilitasi lokal kelas yang hampir roboh itu dan bermaksud mengundang partisipasi mereka. Kenyataannya mereka berkeberatan beriur dana rehab dengan alasan sudah baca di koran bahwa akan ada pergantian “kurikulum”. Mereka kawatir hal itu nanti akan menyebabkan pergantian buku-buku bagi anak- anaknya. Selain itu, mereka juga mempercayai adanya “pameo” bahwa kalau saja “ganti menteri pendidikan mesti akan ganti kebijakan, lalu juga ganti kurikulum, dan berakibat ganti buku-buku pelajaran”. Dengan demikian mereka harus bersiap-siap untuk membelikan buku-buku baru bagi putra-putrinya, sehingga lalu keberatan berpartisipasi iuran memperbaiki lokal kelas. “Lho, opo saben-saben ganti kurikulum, mesthi ganti buku pelajaran tho, pak?” tanya mas Margo. Itulah mas, yang saya sendiri tidak bisa memastikan jawabannya karena memang selama ini memang tidak pasti , sahut Pak Dwijo.
Pak Karso lalu ikut menjelaskan, bahwa memang belum lama ini sekolah-sekolah kita sibuk mengujicobakan KBK ( kurikulum berbasis kompetensi) atau yang disebut juga dengan “kurikulum 2004”. Belum sampai seluruh sekolah dapat menerapkannya, Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BNSP) dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, sudah akan memberlakukan rencana kurikulum baru yaitu kurikulum “yang mengacu pada standar isi dan standar kompetensi lulusan” . Kelihatannya banyak para gurupun juga bingung. Mereka melontarkan keluhan “ada kebijakan macam apa lagi, nih?”, sambil menggerutu. Lebih-lebih masyarakat yang awam, termasuk orang tua muridnya Pak Dwijo tadi. Jadi, ternyata tidak salah kalau “pameo” tadi masih berlaku, jelas Pak Karso.
Semua kita memang seharusnya berprasangka baik, bahwa hal demikian itu untuk kepentingan memperbaiki keadaan pendidikan bangsa yang beberapa tahun terakhir ini terpuruk. Tapi, hendaknya para pengambil kebijakan juga berhati-hati dan berusaha melakukan sosialisasi dengan penuh bijaksana dan sejelas-jelasnya, sehingga masyarakat termasuk orang tua murid dan guru tidak dibikin heboh atau panik, sahut Pakde Mumpuni, yang sejak tadi sudah bergabung di lincak ini. Lalu, disahuti oleh Mas Margo: nyuwun pirso, Pak Karso, sebenarnya kurikulum itu apa, tho?
Dijawab Pak Karso, bahwa kurikulum tidak lain adalah rancangan pendidikan di sekolah atau di lembaga pendidikan. Ia juga merupakan patokan secara umum lingkup dan bagaimana pelajaran diberikan kepada anak/peserta didik dalam jenjang pendidikan tertentu. Karena sifatnya yang masih umum, maka kepada para guru harus diberi kewenangan untuk menerapkannya kepada anak didiknya agar mampu belajar dengan baik Tapi, kurikulum bukan satu-satunya cara perbaikan mutu pendidikan kita. Masih banyak faktor dan aspek-aspek lain yang harus diperbaiki, misalnya: fasilitas termasuk sarana dan prasarana belajar seperti gedung sekolah yang sudah mau ambruk tadi, kemampuan atau kompetensi guru, sikap yang siap dan bersedia belajar dari anak, juga fasilitas pendukung lainnya misalnya kondisi ekonomi atau kesejahteraan guru dan tenaga pendidikan lainnya. Tidak kalah pentingnya juga termasuk faktor tanggung jawab pemerintah dan orang tua dalam mendukung berhasilnya mutu pendidikan. Lalu disela oleh Pak Mumpuni: ….apakah sejak dulu, kurikulum itu juga tidak seperti itu tho Pak? Apa ada yang beda dengan rencana kurikulum yang baru ini?
Memang akan ada perubahan cara pandang tentang “peranan guru”, pak . Dulu, dalam prakteknya guru memang lebih banyak berperan sebagai “tukang mengajar”, yaitu menyampaikan ilmu atau pengetahuan dan teknologi serta seni, dari yang belum tahu menjadi tahu; dari yang semula belum mau supaya mau melakukan sesuatu; dan dari yang tidak bisa melakukan lalu bisa melakukannya. Dalam rancangan kurukulum baru tersebut, ke depan guru akan lebih berperan sebagai fasilitator belajar bagi anak/peserta didik. Gagasan ini sebenarnya sudah lama, dan kita sudah kenal semua apa yang disebut CBSA (Cara Balajar Siswa Aktif). Prinsip inilah yang dikembangkan, yaitu bagaimana agar siswa aktif dan memiliki motivasi belajar yang tinggi, sehingga mereka bisa kreatif dan mandiri dalam belajar untuk menguasai kompetensi tertentu dengan bantuan guru.
Kegiatan pendidikan akan berubah dari suasana yang semula lebih dimaknai sebagai “kegiatan mengajar” atau teaching ke suasana kegiatan anak/peserta didik “belajar” atau learning. Tugas guru yang pertama-tama harus dilakukan adalah “bagaimana menumbuhkan motivasi pada anak/peserta didik untuk siap belajar”. Itulah, makanya teman-teman guru Pak Dwijo itu harus berusaha meningkatkan kualitas kompetensinya, yang salah satunya yaitu kompetensi paedagogik. Ini semua sudah diatur dalam PP No.19/2005 tadi. Semua guru harus menyiapkan diri dengan baik dan mampu mengembangkan kemampuan adaptasi atas hal-hal yang baru dalam perubahan cara pandang ini . Janganlah perubahan cara pandang ini berakibat fatal karena tidak siapnya guru sebagai fasilitator belajar anak/peserta didiknya, lalu akibat diterapkannya CBSA justru dipelesetkan jadi cah bodo soyo akeh. Karena guru tidak siap dan sistim penunjangnya belum juga disiapkan dengan baik, maka malahan justru anak-anak “dibiarkan” belajar sendiri-sendiri tanpa arahan guru, sedangkan gurunya justru mencari “obyekan lain” untuk mencukupkan gajinya yang memang kurang .
Bagaimana dengan kemungkinan “ganti kurikulum, juga ganti buku, sehingga orang tua diberatkan, Pak? sahut Lik Tulus yang sehari-hari sebagi tukang kayu.
Mengganti buku sebagai sumber belajar sebenarnya juga tidak salah asalkan untuk alasan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni yang cepat ini. Tapi, yang penting hendaknya jangan sampai suasana ini dimanfaatkan oleh kepentingan komersial, lalu semua guru “berlomba berjualan buku” dan keluar dari esensi memfasilitasi belajar anak didik. Jangan sampai hubungan guru berubah dari antara “pendidik dengan anak didik” menjadi “penjual dengan pembeli”. Bisa jadi karena belum siap, maka maksudnya akan memperbaiki tapi justru sebaliknya yang akan kita dapat, kualitas pendidikan semakin terpuruk. Mudah-mudahan hal itu tidak terjadi.
Masih banyak hal tentang pendidikan kita yang dapat diperbincangkan untuk perbaikan bagi masa depan bangsa yang kita cintai ini. Tapi, karena waktunya sudah menjelang malam…, mari kita sudahi saja dulu, kata Pak Karso, lalu menutup obrolan lincak sore itu. (rk)
https://ravik.staff.uns.ac.id/2009/11/05/kurikulum/Lincak Pak KarsoPak Dwijo, guru Sekolah Dasar di kampung ini sudah lama tidak datang di lincak Pak Karso, tiba-tiba mak gloso sambil berucap assalamu alaikum dan bergabung dalam kerumunan lincak sore itu. Sambil menghela nafas panjang, di raut wajahnya tampak sedang berpikir kebingungan. Lalu, Pak Karso menyapanya:…. Ada apa tho mas...ravik ravik@uns.ac.idAdministratorRavik Karsidi Blog