KECAMBAH GENERASI
Lincak Pak Karso sore ini kedatangan tamu agung, dari yang tergolong pengusaha sukses, pak guru, mahasiswa dan budayawan. Sejak pagi-pagi Pak Karso sudah membersihkan lingkungan lincaknya, termasuk tikar yang biasanya sudah lusuh juga dibersihkan. Sore ini Pak Karso menggelar sarasehan tentang “bagaimana meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di kampungnya”.
Sudah lama Pak Karso dan tetangganya resah karena banyak warga mudho yang mulai berperilaku tak baik, seperti kongko minuman keras, bahkan nyabu. Bahkan anak-anak yang masih sekolah juga tak lagi disiplin belajar pada malam hari walaupun sudah dibuat program jam wajib belajar oleh Pak Lurah. Orang-orang tua merekapun tak banyak yang sanggup lagi menasehati agar anak-anak mereka untuk berperilaku baik. Pendek kata Pak Karso sudah mumet, sering dimintai saran para tetangganya tetapi tak bisa memberi jalan keluar yang tepat. Paling banter hanya ikut prihatin.
Hari ini Pak Karso berusaha mencari pencerahan untuk keprihatinannya itu. Lalu, diundanglah mampir ke lincaknya untuk mendapatkan sumbang saran dari beberapa kolega dan teman. Yang pertama datang adalah Pak Wira yang tiba-tiba turun dari mobilnya sing apiik, lalu menyapa siempunya lincak: “kulo nuwun, sugeng pinanggih Pak Karso, wonten kerso apa kok ngampirke saya”. Pak Karso menyampaikan uneg-uneg tentang keprihatinannya tadi. Pak Wira malah menyambut uneg-uneg tersebut tidak dengan kata-kata, tapi justru dengan air mata dan kemurungan muka. Pak Karso jadi kaget dan bingung. Maaf-maaf Pak, saya jadi membuat bingung dan panasaran bagi Pak Karso. Lalu Pak Wira meneruskan kata-katanya: “…. Anak saya juga demikian, Pak,… sambil meneruskan tangisnya agak keras”.
“Assalamu‘alaikum…”: terdengar ada suara yang datang, dan … ternyata tidak lain adalah Mas Kanjeng (budayawan misuwur di kampung ini). Waaaah, … ada masalah apa ini? Kelihatannya bapak-bapak sedang sedih, ungkapnya. Pak Karso lalu menjelaskan duduk seleh-nya, dan …kemudian Mas kanjeng manthuk-manthuk, sebagai tanda memahaminya. Lalu, dia menjelaskan bahwa keprihatinan Pak Karso tentang anak-anak dan remaja serta pemuda kampung ini adalah suatu yang biasa karena dapat dianggap sebagai suatu proses perubahan budaya, yaitu transisi budaya agraris (pertanian) menuju ke budaya teknologis. Kita tidak bisa melawannya kecuali harus menumbuh-kembangkan norma tandingan sebagai cara untuk menjadi saringan (filter) atas pengaruh negatif yang datang mempengaruhi anak-anak kita. Banyak terpaan pengaruh kepada anak-anak kita, baik dari pelajaran yang sengaja dicari seperti di sekolah, dari TV, mass media lainnya, dan dari pergaulan mereka. Kita harus mendidik dan membimbing mereka dengan contoh dan teladan yang baik dalam perilaku kita sehari-hari, tidak cukup dengan kata-kata saja, lebih-lebih dengan hanya memberi mereka uang jajan yang cukup untuk mereka. Kita tidak lagi bisa menyerahkan urusan mendidik anak, hanya sepenuhnya menjadi urusan sekolah, karena sekolah sudah tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi dan sumber pengaruh dominan pembentuk kepribadian dan jati diri anak. Orang-orang tua harus aktif menjadi faktor pengaruh pembentukan kepribadian dan jati diri anak-anaknya. Lalu Pak Wira menyela: maaf Pak, orang seperti saya ini sebagai pengusaha hampir tidak mungkin mengalokasikan waktu banyak untuk anak-anak saya. Lalu bagaimana Mas Kanjeng agar anak-anak saya terkendali perilakunya? Selama ini segala kebutuhan sekolahnya sudah saya cukupi, fasilitas lain seperti alat-alat mainan bagi yang masih anak-anak, dan alat-alat komunikasi seperti HP, jaringan internet di komputernya, dan kendaraan bermotor sudah saya lengkapi bagi yang sudah remaja. Harapan saya, anak-anak saya tidak akan kekurangan seperti waktu saya kecil yang hidup susah dan kuper alias kurang pergaulan. Tapi, justru anak saya sekarang bermasalah … dan baru saja saya memergokinya ikut nyabu teman-temannya. “Apa yang salah dari saya sebenarnya, Mas Kanjeng” tanya Pak Wira.
Tiba-tiba Pak Guru Saini dan putranya si Suroso yang masih mahasiswa (yang baru liburan di kampungnya) datang ikut nimbrung, mak gloso duduk di lincak Pak Karso. Mas Kanjeng menjawab pertanyaan Pak Wira dengan balik bertanya: apakah Pak Wira selalu menanyakan dan mengecek apa yang telah dilakukan oleh anak-anak Bapak pada setiap kali habis diberikan kecukupan permintaan atas kebutuhannya? Apakah anak-anak Bapak juga dibiasakan melaporkan/memberitahukan apa saja yang telah dilakukannya kepada bapak dan ibunya? Apakah juga ada kebiasaan di keluarga untuk menjelaskan kepadanya dari mana lalu orang tua bisa memenuhi kebutuhan mereka? Wah.. wah… wah kok seperti interview saja Mas Kanjeng ini, sahut Pak Karso.
Saya kok tidak cetho apa yang dibicarakan Bapak-Bapak ini tadi tho: sahut Suroso. Itu lho mas, konco-koncomu di sini akhir-akhir ini rodho memprihatinkan tindakan-tindakannya, seperti suka minum-minuman keras bahkan sudah ada coba-coba nyabu segala: jawab pak Karso. Dijawab oleh Pak Guru Saini dan Suroso: manthuk-manthuk, tanda sudah paham. “Itulah makanya menurut UNDP (Kantor PBB urusan Pembangunan) negara kita ini dalam urutan Indeks Pengembangan SDM-nya rangking 111 dari 177 negara di dunia pada tahun 2004, masuk dalam kelompoknya Negara-negara kecil seperti: Vietnam, Bolivia, Honduras dan Mongolia. Padahal Negara kita ini Negara besar dan luas”, jelas Pak Saini. Sebagai guru saya hanya bisa menghimbau kepada masyarakat agar menyadari bahwa untuk mendidik generasi bangsa haruslah bersama-sama bertanggung jawab antara sekolah, orang tua, masyarakat dan Negara. Masing-masing harus tahu dan jelas benar apa, kapan dan bagaimana seharusnya bertanggung jawab terhadap tugasnya masing-masing. Misalnya saja kalau kita mengacu ke Undang- undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003, Pemerintah dan Pemerintah Daerah seharusnya mampu menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) tanpa memungut biaya. Tapi saat ini pemerintah kita sedang bokek. Jadi, selain pemerintah harus terus mengusahakan efisiensi agar dapat membiayainya, maka tentu saja orang tua, masyarakat dan sekolah harus juga ikut mencari solusinya agar pendidikan anak-anak kita terjamin pemerataan kesempatan dan kualitas pendidikannya, jelas Pak Saini.
Apa saya juga boleh tanya, Pak?: sela Suroso. Silahkan, apa pertanyaannya mas Roso: jawab Pak Karso. Suroso melanjutkan: apakah pengetahuan yang diperoleh di sekolah memadai untuk menghadapi kehidupan dan untuk mampu sebagai bekal mereka bekerja nantinya? Lalu, apa cukup seseorang hanya dengan bekal wajib belajar sembilan tahun? Bagus sekali pertanyaan anda, mas: sahut Pak Karso lalu melanjutkan penjelasannya. Masyarakat kita ini berubah cepat sekali, pengetahuan yang diperoleh selama ia berada di sekolah jelas tidak cukup. Seluruh kondisi masyarakat selalu berubah. Selain materi-materi dasar dan pakem yang harus dikuasai peserta didik, ia harus belajar juga menguasai perubahan itu sendiri yaitu memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi. Adaptasi terhadap perubahan. Ada cerita dalam bukunya Sayling Wen (2003) bahwa seseorang anak tunggal pemilik toko klontong tidak mau belajar, karena berpendapat toh nanti akan menjadi pewaris toko besar tersebut. Cara pandang seperti itu mungkin masih bisa dibenarkan pada masa lalu, toko klontong diwariskan kepada anaknya. Tetapi pada saat ini, hampir tidak mungkin berdagang secara eceran kecuali dioperasikan secara berantai bahkan wara-laba. Toko-toko klontong telah menjadi satu kesatuan sistim perdagangan berantai. Bahkan pabrik-pabrik komputerpun dalam setiap tiga bulan harus memproduksi sistim atau model baru. Banyak yang semula disebut ahli komputer bisa-bisa tidak dapat disebut ahli lagi kalau mereka tidak mengikuti kemajuan dalam teknologi komputer. Apalagi rakyat biasa pada umumnya. Hal-hal yang dipelajarinya hanya karena wajib belajar sembilan tahun, bisa benar-benar tak bermanfaat akibat adanya perubahan-perubahan sosial dan ekonomi, serta teknologi dan perubahan kehidupan lainnya yang sangat cepat. Apa yang kita pelajari bisa menjadi usang, kita harus siap “belajar tiada henti”, dan kita harus terus mempelajari hal-hal baru. Kalau tidak demikian, maka kita akan menghadapi risiko tersingkir dari pasar tenaga kerja. Untuk itu, kita harus mampu menciptakan pembelajaran seumur hidup.
Pak Wira menyela: Apa yang dikatakan pak Karso itu benar-benar saya rasakan sendiri dalam perusahaan kami. Semuanya betul. Banyak karyawan saya yang hanya mengandalkan ilmu sewaktu ia sekolah, sudahlah tidak memadai untuk mengejar ketinggalan. Bahkan sudah kami kursuskan ketrampilan tambahan ini dan itupun, masih ketinggalan untuk mengejar perubahan yang terjadi. Suroso menyela lagi: lalu terus bagaimana, pak?
Mas Kanjeng menyahut: ….untuk bisa memenangkan persaingan dan mampu mengikuti perubahan, bangsa ini harus memperhatikan dan manata pendidikan sejak usia pra sekolah dengan baik. Pendidikan anak usia dini (PAUD) harus benar-benar mendapatkan perhatian baik oleh Negara, orang tua mapun masyarakat. Ada tiga hal yang paling utama adalah: (1) meletakkan dasar-dasar sikap dan kepribadian, sehingga mereka siap beradaptasi dengan perubahan dan (2) mempunyai perilaku “belajar tiada henti”, serta (3) memiliki daya saring (filter system) untuk memilih mana yang baik dan yang tidak baik untuk dirinya dalam mengembangkan/mempertahankan jati dirinya. Jalur pendidikan mereka dapat dilaksanakan melalui jalur pendidikan formal (Taman Kanak-Kanak/TK, Raudatul Atfal/RA, dan lainnya yang sederajat), jalur pendidikan non formal (seperti kelompok-kelompok bermain), dan jalur pendidikan informal (terutama peran pendidikan dalam keluarga dan pendidikan oleh lingkungan/komunitas sekitarnya).
“Terima kasih-terima kasih, teman-teman telah singgah di lincak kami, obrolan kita sore ini mudah-mudahan menjadi bahan mawas diri kita masing-masing”: kata Pak Karso Karena hari sudah menjelang malam, lalu Pak Karso menutupnya dengan kata-kata:…. anak-anak kita tadi, baik yang masih di pra sekolah mapun mereka yang di usia wajib belajar itu dapat kita sebut “kecambah generasi”. Kalau kecambah yang kita semai berkualitas, tentu kondisi apapun tempat lingkungan mereka nanti berada, maka ia akan tumbuh subur berbunga dan berbuah seperti harapan”. Semoga.(erka)
https://ravik.staff.uns.ac.id/2009/11/05/kecambah-generasi/Lincak Pak KarsoLincak Pak Karso sore ini kedatangan tamu agung, dari yang tergolong pengusaha sukses, pak guru, mahasiswa dan budayawan. Sejak pagi-pagi Pak Karso sudah membersihkan lingkungan lincaknya, termasuk tikar yang biasanya sudah lusuh juga dibersihkan. Sore ini Pak Karso menggelar sarasehan tentang “bagaimana meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di kampungnya”. Sudah...ravik ravik@uns.ac.idAdministratorRavik Karsidi Blog