Hubungan Suami Istri
Dalam perkembangan sejarah, hubungan antar suami-istri pada kelas menengah berubah dari hubungan yang ada pada keluarga yang institusional ke hubungan yang ada pada keluarga yang companionship (Burges dan Locke, 1960). Hubungan antar suami-istri pada keluarga yang institusional ditentukan oleh faktor-faktor di luar keluarga seperti adat, pendapat umum dan hukum. Baru kemudian dalam perkembangan selanjutnya, pengaruh faktor-faktor tersebut mulai berkurang. Hubungan antar suami-istri lebih didasarkan atas pengertian dan kasih sayang timbal balik serta kesepakatan mereka berdua.
Duvall (1967) menyebut pola hubungan suami-istri dalam keluarga yang institusional sebagai pola yang otoriter, sedangkan pola hubungan suami-istri dalam keluarga yang companionship sebagai pola yang demokratis. Perubahan tersebut terjadi karena adanya perubahan sosial dalam masyarakat dan keluarga menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada. Dengan begitu keluarga bisa tetap bertahan. Pola hubungan yang otoriter menunjukkan pola hubungan yang kaku. Sebaliknya, dalam pola yang demokratis hubungan suami-istri menjadi lebih lentur. Pada pola yang kaku, seorang istri yang baik adalah istri yang melayani suami dan anak-anaknya. Sedangkan pada pola yang lentur, istri yang baik adalah pribadi yang melihat dirinya sebagai pribadi yang berkembang terus.
Menurut Scanzoni dan Scanzoni (1981) hubungan suami-istri dapat dibedakan menurut pola perkawinan yang ada. Mereka menyebut ada 4 macam pola perkawinan yaitu owner property, head complement, senior junior partner, dan equal partner.
a. Pada pola perkawinan owner property, istri adalah milik suami sama seperti uang dan barang berharga lainnya. Tugas suami adalah mencari nafkah dan tugas istri adalah menyediakan makanan untuk suami dan anak-anak dan menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga yang lain karena suami telah bekerja untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya. Dalam pola perkawinan seperti ini berlaku norma :
1. Tugas istri adalah untuk membahagiakan suami dan memenuhi semua keinginan dan kebutuhan rumah tangga suami.
2. Istri harus menurut pada suami dalam segala hal.
3. Istri harus melahirkan anak-anak yang akan membawa nama suami.
4. Istri harus mendidik anak-anaknya sehingga anak-anaknya bisa membawa nama baik suami.
Pada pola perkawinan ini, istri dianggap bukan sebagai pribadi melainkan sebagai perpanjangan suaminya saja. Ia hanya merupakan kepentingan, kebutuhan, ambisi, dan cita-cita dari suami. Suami adalah bos dan istri harus tunduk padanya. Bila terjadi ketidaksepakatan, istri harus tunduk pada suami. Dengan demikian akan tercipta kestabilan dalam rumah tangga. Tugas utama istri pada pola perkawinan seperti ini adalah untuk mengurus keluarga. Karena istri tergantung pada suami dalam hal pencarian nafkah, maka suami dianggap lebih mempunyai kuasa (wewenang). Kekuasaan suami dapat dikuatkan dengan adanya norma bahwa istri harus tunduk dan tergantung pada suami secara ekonomis. Dari sudut teori pertukaran, istri mendapatkan pengakuan dari kebutuhan yang disediakan suami. Istri mendapatkan pengakuan dari kerabat dan peer group berdasarkan suami. Demikian juga dengan status sosial, status sosial istri mengikuti status sosial suami. Istri mendapat dukungan dan pengakuan dario orang lain karena ia telah menjalankan tugasnya dengan baik.
Istri juga bertugas untuk memberikan kepuasan seksual kepada suami. Adalah hak suami untuk mendapatkan hal ini dari istrinya. Bila suami ingin melakukan hubungan seksual, istri harus menurut meskipun ia tidak menginginkannya. Suami bisa menceraikan istri dengan alasan bahwa istrinya tidak bisa memberikan kepuasan seksual. Bila istri ingin mengunjungi kerabat atau tetangga, tetapi suami menginginkan ia ada di rumah, istri harus menurut keinginan suami hanya karena normanya seperti itu. Istri tidak boleh memiliki kepentingan pribadi. Kehidupan pribadi wanita menjadi hak suami begitu ia menikah, sehingga seakan-akan wanita tidak punya hak atas dirinya sendiri. Sebagai contoh, di Nusa Tenggara Barat ada norma yang mengatakan bahwa istri tidak boleh mendahului suaminya dalam segala sesuatu. Sehingga setelah ada proyek jambanisasi, yaitu jamban baru dibuat di rumah-rumah penduduk, ada kasus bahwa seorang istri dan anak-anaknya tidak berani menggunakannya terlebih dahulu karena suaminya masih bertugas ke luar kota. Pada kasus lain, seorang istri tidak berani menjenguk orang tuanya yang meninggal di luar kota, juga karena suaminya saat itu tidak berada di tempat.
Pada masa lalu, di kalangan kelompok priyayi Jawa, suami bisa saja menceraikan istrinya sesuka hatinya bila ia sudah tidak menyukainya lagi. Dalam hal ini, istri tidak mempunyai hak bertanya apalagi protes. Pada pola perkawinan seperti ini, perkawinan lebih didasarkan pada garis keturunan dan pemilikan daripada kasih sayang. Pada pola perkawinan ini, hukuman fisik sering dilakukan oleh suami terhadap istri agar istri menurut padanya.
b. Pada pola perkawinan yang head-complement, istri dilihat sebagai pelengkap suami. Suami diharapkan untuk memenuhi kebutuhan istri akan cinta dan kasih sayang, kepuasan seksual, dukungan emosi, teman, pengertian dan komunikasi yang terbuka. Suami dan istri memutuskan untuk mengatur kehidupan bersamanya secara bersama-sama. Tugas suami masih tetap mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya, dan tugas istri masih tetap mengatur rumah tangga dan mendidik anak-anak. Tetapi suami dan istri kini bisa merencanakan kegiatan bersama untuk mengisi waktu luang.
Suami juga mulai membantu istri di saat dibutuhkan, misalnya mencuci piring atau menidurkan anak, bila suami mempunyai waktu luang. Tugas istri yang utama adalah mengatur rumah tangga dan memberikan dukungan pada suami sehingga suami bisa mencapai maju dalam pekerjaannya. Suami mempunyai seseorang yang melengkapi dirinya. Norma dalam perkawinan masih sama seperti dalam owner property, kecuali dalam hal ketaatan. Dalam perkawinan owner property, suami bisa menyuruh istrinya untuk mengerjakan sesuatu, dan istri harus melakukannya. Tetapi dalam perkawinan head-complement suami akan berkata, “Silakan kerjakan.” Sebaliknya, istri juga berhak untuk bertanya, “Mengapa” atau “Saya rasa itu tidak perlu.” Di sini suami tidak memaksakan keinginannya. Tetapi keputusan terakhir tetap ada di tangan suami, dengan mempertimbangkan keinginan istri sebagai pelengkapnya. Dalam kondisi tertentu, istri bisa bekerja dengan izin suami. Di segi ekspresif, ada perubahan nilai di mana suami dan istri menjadi pacar dan teman. Mereka diharapkan untuk saling memenuhi kebutuhan, tidak hanya semata-mata dalam hal penghasilan, melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, kebutuhan seksual dan anak-anak. Mereka juga diharapkan untuk bisa menikmati kehadiran pasangannya sebagai pribadi, menemukan kesenangan dari kehadiran itu, saling percaya, dan berbagai masalah, pergi dan melakukan kegiatan bersama-sama.
Dalam pola perkawinan ini secara sosial istri menjadi atribut sosial suami yang penting. Istri harus mencerminkan posisi dan martabat suaminya, baik dalam tingkah laku sosial maupun dalam penampilan fisik material. Misalnya, seorang istri pejabat harus juga menjadi panutan bagi para istri anak buah suaminya. Ingat saja gejala Dharma Wanita. Ketua Dharma Wanita adalah istri pemimpin instansi yang bersangkutan. Sebaliknya, tidak ada Dharma Pria yang diketua oleh suami dari istri yang menjadi pemimpin di instansi yang bersangkutan. Wanita juga harus selalu menampilkan diri seperti pakaian, rambut, sepatu, dan perhiasan lainnya sesuai dengan status suami. Dalam hubungan ini, kedudukan istri sangat tergantung pada posisi suami atau ayah sebagai kepala keluarga. Bila posisi suami meningkat, posisi istri pun ikut meningkat. Bila suami dipindahtugaskan, istri dan anak-anak pun ikut serta.
Pada pola perkawinan seperti ini, ada dukungan dari istri untuk mendorong suksesnya suami.
Usaha istri tersebut biasanya tidak terlihat dan kurang dihargai daripada pekerjaan yang mendapat upah. Papanek (1979) seperti yang dikutip oleh Thompson dan Walker (1989) menggambarkan dukungan istri itu dalam bentuk memperhatikan pakaian, mengundang relasi, mengajarkan anak-anak akan nilai yang pantas, dan terlibat dalam politics of status maintenance.
c. Pada pola perkawinan senior-junior partner, posisi istri tidak lebih sebagai pelengkap suami, tetapi sudah menjadi teman. Perubahan ini terjadi karena istri juga memberikan sumbangan secara ekonomis meskipun pencari nafkah utama tetap suami. Dengan penghasilan yang didapat, istri tidak lagi sepenuhnya tergantung pada suami untuk hidup. Kini istri memiliki kekuasaan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan. Menurut teori pertukaran, istri mendapatkan kekuasaan dan suami kehilangan kekuasaan. Tetapi suami masih memiliki kekuasaan yang lebih besar dari istri karena posisinya sebagai pencari nafkah utama. Artinya, penghasilan istri tidak boleh lebih besar dari suami. Dengan begitu suami juga menentukan status sosial istri dan anak-anaknya. Ini berarti, istri yang berasal dari status sosial yang lebih tinggi, akan turun status sosialnya karena status sosialnya kini mengikuti status sosial suami.
Ciri perkawinan seperti inilah yang banyak terdapat sekarang ini. Istri bisa melanjutkan sekolah asal sekolah atau karier suami didahulukan. Istri juga bisa merintis karirnya sendiri setelah karir suami sukses. Dalam pola perkawinan seperti ini istri harus mengorbankan kariernya demi karir suaminya. Di kalangan beberapa instansi pemerintah, suami harus menjalani tugas di daerah sebelum bisa dipromosikan ke pangkat yang lebih tinggi. Demi karir suami inilah, seringkali istri rela berkorban.
d. Pada pola perkawinan equal partner, tidak ada posisi yang lebih tinggi atau rendah di antara suami-istri. Istri mendapat hak dan kewajibannya yang sama untuk mengembangkan diri sepenuhnya dan melakukan tugas-tugas rumah tangga. Pekerjaan suami sama pentingnya dengan pekerjaan istri. Dengan demikian istri bisa pencari nafkah utama, artinya penghasilan istri bisa lebih tinggi dari suaminya. Dalam hubungan ini, alasan bekerja bagi wanita berbeda dengan alasan yang dikemukakan dalam pola perkawinan sebelumnya. Alasan untuk bekerja biasanya menjadi “sekolah untuk kerja” atau “supaya mandiri secara penuh.”
Dalam pola perkawinan ini, norma yang dianut adalah baik istri atau suami mempunyai kesempatan yang sama untuk berkembang, baik di bidang pekerjaan maupun secara ekspresif. Segala keputusan yang diambil di antara suami istri, saling mempertimbangkan kebutuhan dan kepuasaan masing-masing. Istri mendapat dukungan dan pengakuan dari orang lain karena kemampuannya sendiri dan tidak dikaitkan dengan suami. Dalam pola perkawinan seperti ini, perkembangan individu sebagai pribadi sangat diperhatikan.
Melalui analisis majalah wanita di Amerika Serikat dari tahun 1900 sampai tahun 1979, Cancian dan Gordon seperti yang dikutip oleh Thompson dan Walker (1989) melaporkan bahwa ada perubahan emosi pada perkawinan kelas menengah. Meskipun cinta dan perkawinan sebagai self sacrifice tetap merupakan pesan utama yang disampaikan pada wanita, ada kecenderungan untuk menuju pada cinta sebagai perasaan yang diekspresikan dan perkawinan sebagai tempat untuk mengembangkan diri. Konsep seperti ini dalam perkawinan memungkinkan pria untuk mengekspresikan kebutuhan dan perasaannya dan wanita untuk mengekspresikan kemarahan mereka yang terkontrol. Cancian dan Gordon menyimpulkan bahwa meskipun dalam perkawinan sekarang diperhatikan masalah keintiman yang emosional, wanita tetap bertanggungjawab untuk melihat apakah hal yang ideal ini terwujud dalam perkawinan.

Hubungan Orang Tua – Anak
Berbeda dengan masa lalu, suami-istri kini bebas menentukan apakah mereka ingin punya anak atau tidak. Dan andaikata mereka menginginkan anak, dengan adanya alat kontrasepsi mereka juga lebih bebas menetapkan kapan mereka ingin punya anak dan berapa jumlah anak yang ingin mereka miliki. Pada tahun 60-an di Amerika Serikat, 35 % penduduk mengatakan jumlah anak ideal adalah 4 orang atau lebih, sedangkan pada tahun 1985, 56 % penduduk menginginkan 2 orang saja. Sekitar 2 % penduduk tidak menginginkan anak sama sekali. Jumlah mereka yang tidak menginginkan anak, diharapkan akan semakin meningkat sekarang (Strong dan De Vault, 1989). Di Indonesia, pada tahun 1971, angka kelahiran total adalah 5,6. Angka ini terus menurun menjadi 4,7 pada tahun 1980; 4,1 pada tahun 1985, dan 3,3 pada tahun 1990 (BPS, 1993).
Faktor kebijaksanaan pemerintah dapat mendorong orang untuk memilih lebih sedikit anak. Di Cina, misalnya banyak pasangan suami istri memilih untuk memiliki satu anak karena pemerintahannya hanya mau membiayai satu anak saja. Bila anak kedua lahir, pasangan suami istri harus membayar denda pada pemerintah. Di samping itu anak kedua dan seterusnya tidak akan mendapat tunjangan dari pemerintah. Di Indonesia, adanya peraturan pegawai negeri atau di kantor-kantor swasta yang hanya memberi tanggungan sampai anak ketiga atau bahkan kedua saja, juga dapat mendorong orang untuk mempunyai anak tidak terlalu banyak. Dengan diperkenalkannya program KB di Indonesia sejak tahun 1969, jumlah anak yang dilahirkan dalam keluarga juga mulai berkurang. Dan kini pendapat tentang “banyak anak banyak rejeki” yang kita kenal tampaknya juga mulai menghilang.
Secara umum kehadiran anak dalam keluarga dapat dilihat sebagai faktor yang menguntungkan orang tua dari segi psikologis, ekonomis dan sosial (Horowirz, 1985; Suparlan, 1989; Zinn dan Eitzen, 1990).
Pertama, anak dapat lebih mengikat tali perkawinan. Pasangan suami istri merasa lebih puas dalam perkawinan dengan melihat perkembangan emosi dan fisik anak. Kehadiran anak juga telah mendorong komunikasi antara suami istri karena mereka merasakan pengalaman bersama anak mereka.
Kedua, orang tua merasa lebih muda dengan membayangkan masa muda mereka melalui kegiatan anak mereka.
Ketiga, anak merupakan simbol yang menghubungkan masa depan dan masa lalu. Dalam kaitan ini, orang tua sering menemukan kebahagiaan diri mereka dalam anak-anak mereka, kepribadian, sifat, nilai, dan tingkat laku mereka diturunkan lewat anak-anak mereka.
Keempat, orang tua memiliki makna dan tujuan hidup dengan adanya anak.
Kelima, anak merupakan sumber kasih sayang dan perhatian.
Keenam, anak dapat meningkatkan status seseorang. Pada beberapa masyarakat, individu baru mempunyai hak suara setelah ia memiliki anak.
Ketujuh, anak merupakan penerus keturunan. Untuk mereka yang menganut sistem patrilineal, seperti Cina, Korea, Taiwan, dan Suku Batak, adanya anak laki-laki sangat diharapkan karena anak laki-laki akan meneruskan garis keturunan yang diwarisi lewat nama keluarga. Keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki dianggap tidak memiliki garis keturunan, dan keluarga itu dianggap akan punah.
Kedelapan, anak merupakan pewaris harta pusaka. Bagi masyarakat yang menganut sistem matrilineal, anak perempuan selain sebagai penerus keturunan, juga bertindak sebagai pewaris dan penjaga harta pusaka yang diwarisinya. Sedangkan anak laki-laki hanya mempunyai hak guna atau hak pakai. Sebaliknya, pada masyarakat yang menganut sistem patrilineal, anak laki-lakilah yang mewariskan harta pusaka.
Kesembilan, anak juga mempunyai nilai ekonomis yang penting. Di daerah pedesaan Jawa, anak sudah dapat membantu orang tua pada usia yang sangat muda. White (1982) menemukan bahwa umumnya anak mulai teratur membantu orang tua pada usia 7-9 tahun, tetapi juga ditemukan beberapa kasus anak yang membantu sejak mereka berumur 5-6 tahun. Anak laki-laki biasanya mengumpulkan rumput, memelihara ternak, mengolah sawah atau pekarangan, menjaga adik, dan mengambil air. Semakin besar usia mereka, semakin berat pekerjaan yang harus mereka lakukan.
Studi tentang hubungan orang tua – anak biasanya hanya membahas fungsi anak terhadap orang tua dan bukan sebaliknya. Fungsi orang tua terhadap anak dianggap sudah seharusnya berlangsung karena orang tua bertanggungjawab atas anak-anak mereka. Padahal tidak sedikit bantuan yang diberikan oleh orang tua meskipun anak seharusnya sudah bisa menghidupi diri mereka sendiri. Bantuan yang diberikan oleh orang tua misalnya, memberi tumpangan tempat tinggal pada anak mereka yang sudah dewasa termasuk mereka yang sudah menikah. Berbeda dengan di negara Barat, di mana pada umur 18 tahun biasanya anak sudah meninggalkan rumah orang tua, di Indonesia anak biasanya masih tinggal bersama dengan orang tua sampai mereka menikah. Bila setelah menikah mereka belum mendapatkan rumah, biasanya orang tua juga mengizinkan anak, mantu dan bahkan cucu untuk tinggal bersama-sama. Sehingga kini dikenal dengan istilah tinggal di “pondok mertua indah”.
Orang tua juga biasanya membiayai sekolah anak sampai ke perguruan tinggi. Tidak jarang orang tua juga memberi bantuan keuangan pada anak mereka yang sudah menikah tetapi belum mempunyai penghasilan yang cukup. Lewis (1990) mengutip beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa pada usia menengah (middle age), orang tua memberi banyak bantuan pada anak mereka yang sudah menikah. Banyak bantuan diberikan dalam bentuk hadiah, khususnya anak perempuan, sehingga peran menantu pria tidak dilecehkan. Bantuan seperti ini memang diharapkan karena orang tua mampu menolong secara finansial pada usia menengah dalam daur hidup mereka. Pada usia menengah biasanya orang tua berada pada puncak karir mereka, sementara anak mereka yang baru menikah umumnya baru merintis karir.
Orang tua juga biasanya menjadi tempat penitipan cucu. Dengan makin banyaknya wanita bekerja di luar rumah, dan semakin sulitnya mencari pembantu yang mengurus anak, cucu biasanya dititipkan ke rumah kakek dan nenek mereka.
Bantuan yang diberikan oleh orang tua dapat dilihat sebagai hubungan ketergantungan anak pada orang tua, tetapi Lewis (1990) melihatnya sebagai hubungan saling ketergantungan antara orang tua – anak. Pertama, orang tua berharap bila mereka membutuhkan bantuan anak akan menolong mereka. Kedua, menolong anak merupakan kepuasan secara emosional.
Hubungan orang tua – anak ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adams, seperti yang dikutip oleh Lewis (1990) menemukan bahwa kedekatan tempat tinggal tidak berpengaruh pada bantuan keuangan, tetapi pada jasa yang diberikan pada anak. Faktor lain yang ikut berpengaruh adalah lamanya pernikahan anak, jenis kelamin anak, kelas sosial, kesepakatan antara ibu dan ayah, dan persamaan budaya dalam perkawinan (Lewis, 1990).

Hubungan Antar Saudara (Siblings)
Berbeda dengan hubungan antara suami-istri dan orang tua – anak, hubungan antar saudara lebih jarang dibahas dalam literatur tentang keluarga. Adanya pandangan bahwa kontak yang lebih sering antara anak dewasa dan orang tua mereka, bisa disebut sebagai penyebabnya (Adams, 1971). Padahal, secara potensial hubungan antar manusia yang lain, karena hubungan antar saudara terjadi sejak seorang adik dilahirkan sampai salah satu dari mereka meninggal (Cicirelli, 1980). Kebanyakan penelitian tentang saudara (siblings) berkaitan dengan masa kanak-kanak atau usia lanjut (lee, Mancini dan Maxwell, 1990).
Hubungan antar saudara bisa dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur, jumlah, jarak kelahiran, rasio saudara laki terhadap saudara perempuan, umur orang tua pada saat mempunyai anak pertama, dan umur anak mereka keluar dari rumah (Schvaneveldt dan Ihinger, 1979).
Kedekatan emosi, harapan akan adanya tanggung jawab saudara, dan konflik antar saudara (siblings), dianggap sebagai faktor yang penting dalam interaksi antar mereka (Lee, Mancini dan Maxwell, 1990). Kedekatan emosi termasuk adanya rasa ingin berbagai pengalaman, kepercayaan, perhatian, dan perasaan senang dalam hubungan tersebut. Scott (1990) mengutip beberapa penelitian yang menemukan bahwa secara emosi hubungan antar saudara baik laki-laki maupun perempuan pada usia lanjut lebih erat dibandingkan ketika mereka masih pada usia sebelumnya. Lebih besarnya kebutuhan pada usia lanjut, perasaan yang kuat sebagai keluarga, perubahan persepsi karena perbedaan usia, adalah beberapa alasan yang bisa disebutkan untuk membedakan kedekatan emosi tersebut. Pada masa usia lanjut, saudara penting untuk saling memberikan dukungan dan perhatian.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kedekatan hubungan antar saudara adalah kompisisi gender. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa hubungan antar dua (dyad) saudara wanita di usia lanjut lebih kuat dibandingkan dengan hubungan antar dua (dyad) saudara pria. Bahkan hubungan (dyad) yang mengandung unsur satu saudara wanita akan lebih kuat daripada hubungan (dyad) antar saudara pria saja (Scott, 1990). Lebih kuatnya hubungan pada saudara wanita dibanding saudara pria bisa didasarkan atas asumsi bahwa wanita diharapkan untuk lebih memperhatikan masalah-masalah yang ada dalam keluarga, termasuk merawat anak, melayani suami, merawat orang tua mereka yang sudah lanjut usia, dan juga menjaga hubungan dengan saudara mereka. Harapan terhadap wanita untuk membina hubungan dengan anggota keluarga sudah ditanamkan sejak kecil. Kaum pria dianggap orang yang berorientasi pada pekerjaan, mampu mengendalikan diri, dan siap terjun ke dalam dunia yang sangat kompetitif. Sehingga pria umumnya tidak mampu menunjukkan emosinya dan takut emosinya terluka. Oleh karena itu lebih sulit bagi mereka untuk membina hubungan yang mendalam dengan orang lain, khususnya dengan sesama pria karena biasanya hubungan antar pria dibangun atas dasar kompetisi (Keadilan, 1993).
Di masa mendatang, studi tentang hubungan antar saudara perlu memperhatikan jumlah anggota keluarga yang berubah, karena besarnya jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi hubungan antar saudara di usia lanjut mereka (Cicirelli, 1980, Scott, 1990). Jumlah dan proporsi orang lanjut usia di dunia semakin meningkat. Di Indonesia, pada tahun 1971 penduduk berusia 55 tahun ke atas berjumlah sekitar 7,5 juta jiwa atau 6,4 % (BPS, 1971). Pada tahun 1980 jumlah mereka meningkat menjadi 11,4 juta jiwa atau 7,8 % (BPS, 1990). Dalam tahun 1990 jumlah mereka menjadi 16,1 juta jiwa atau 9,0 % (BPS, 1990).
Jika pasangan suami istri yang tetap hidup sampai usia lanjut tidak mempunyai anak, atau mempunyai satu atau dua orang anak saja, akan lebih sedikit anak yang biasa membantu orang tua di usia lanjut mereka, baik sebagai teman, memberi dukungan secara psikologis, atau bentuk bantuan lainnya. Karena jumlah orang yang berusia lanjut semakin meningkat dan mereka mempunyai jumlah saudara lebih besar dibandingkan jumlah anak yang mereka miliki, hubungan antar saudara diharapkan akan menjadi lebih penting. Hubungan tersebut dapat berbentuk saling tukar menukar bantuan di antara mereka.

ravikCeramahHubungan Suami Istri Dalam perkembangan sejarah, hubungan antar suami-istri pada kelas menengah berubah dari hubungan yang ada pada keluarga yang institusional ke hubungan yang ada pada keluarga yang companionship (Burges dan Locke, 1960). Hubungan antar suami-istri pada keluarga yang institusional ditentukan oleh faktor-faktor di luar keluarga seperti adat, pendapat umum...KITA akan menjadi seperti apa yang KITA pikirkan.