MUDIK (Mikir Untuk Diri dan Keluarga)
Di lincak Pak Karso sore kemarin penuh sesak pengunjung karena banyak anggota keluarganya yang datang dari berbagai kota yang masih ber”mudik-ria” di kampung halamannya. Ada yang dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, bahkan luar Jawa. Mereka saling berkangen-kangenan dan saling bercerita tentang suka dan duka selama merantau. Mas Ranto yang berbekal ijazah SMP dan kini sehari-hari sebagai penjual bakso di Jakarta menceritakan susahnya pada waktu awal-awal merintis usahanya. Belantara Ibukota dengan segala gaya kehidupan yang tak pernah diketahuinya sama sekali sebelumnya harus ia taklukkan. Ada perbedaan yang sangat mencolok antara gaya dan cara hidup orang-orang di Ibukota atau kota-kota besar lainnya dengan mereka yang tinggal di pedesaan atau kota-kota kecil lainnya. Mas Ranto harus secara cepat menyesuaikan diri dan berusaha “menjadi orang kota”. Alhamdulillah, sekarang ini ia telah benar-benar menjadi “orang kota” karena usahanya telah mantab, punya rumah, sudah berhasil menyewakan beberapa puluh grobag bakso, dan pulang mudik bersama keluarganya sudah dengan sebuah mobil miliknya.
Lain lagi dengan Pak Dwijo, yang saat meninggalkan desanya telah lulus diploma guru, dan saat ini sebagai salah seorang guru SMP di kota kecil pulau Sumatra. Sudah tiga tahun ini dia dan keluarganya baru bisa mudik ke kampung halamannya. Dia bercerita bahwa ia telah menjadi warga yang cukup dihormati di tempat perantauannya, sungguhpun kehidupannya tergolong yang pas-pasan, bahkan untuk bisa mudik kali ini dengan keluarganya ia harus terlebih dahulu menabung dalam beberapa tahun. Alhamdulillah, ia pun juga sudah memiliki rumah fasilitas BTN ukuran kecil, memiliki sepeda motor hasil kredit, dan beberapa fasilitas isi rumah seperti kulkas, tv, dll. juga dari fasilitas pinjaman koperasi di kantornya.
Masih banyak lagi pendatang lincak sore kemarin yang saling bercerita tentang susah-bungahnya masing-masing di rantau. Dan,….. bagi pak Karso serta anak-anak muda yang hadir di lincak itu, cerita-cerita suka dan duka tersebut benar-benar sebagai pengalaman dan guru yang baik. Ada kesimpulan bahwa, betapa lebar jarak antara kehidupan desa dan kota/ibukota, sehingga begitu sulitnya bagaimana orang desa harus bisa menyesuaikannya. Mas Margo yang sehari-hari sebagai penjual/dodol roti surungan, lalu ia bertanya kepada Mas Ranto: bagaimana mas kiat untuk sukses menjadi pengusaha, seperti panjenengan ini?
Tanpa sungkan-sungkan Mas Ranto menjelaskan sambil mengingat-ingat pengalamannya. Pertama, ia harus menetapkan pilihan usahanya dan ditekuninya sungguh-sungguh (yaitu bakso). Kedua, tidak mudah putus asa alias ulet. Ketiga, mau belajar terus menerus kepada orang lain yang sudah berhasil maupun yang gagal. Keempat, tidak cepat puas dengan hasil yang dicapai. Kelima, selalu mengembangkan sikap mau menyesuaikan diri dan tidak menutup diri. Keenam, eee….masih banyak lagi. Lalu Pak Karso menyela: “……. sudah, sudah, mas Ranto. Saya salut dengan kegigihan panjenengan dan saya sangat bangga atas keberhasilan ini. Dan,… saya percaya apa yang diyakini dan dilakukan oleh Mas Ranto tidak cukup enam kiat tadi. Tapi yang penting bahwa rupanya kesungguhan panjenengan menekuni usaha inilah yang lalu dapat mendatangkan keberhasilan. Sekali lagi salut, termasuk tentu saja bagi pak Dwijo yang telah menjadi orang yang dihormati masyarakat karena telah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Kedua beliau ini telah ikut mengharumkan nama warga lincak ini”.
“Nuwun sewu, Pak Karso, saya kira yang mereka lakukan berdua lalu kini dapat menjadi orang yang berhasil tersebut karena kesungguhannya, adalah sesuai dengan ajaran agama kita. Kata ajaran agama tersebut mengatakan…”barangsiapa bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkan”, sahut Pakde Mumpuni pinisepuh sekitar lincak ini yang kebetulan rawuh.
Pakde Mumpuni lalu melanjutkan: “sebagai orang tua di sini saya usul Pak, bagaimana kalau MUDIKnya teman-teman yang ada di lincak ini lalu dimaknai sekaligus sebagai ikut meMikirkan Untuk perbaikan Diri dan Keluarga. Sebab masih banyak anak-anak muda di sekitar lincak ini yang nganggur setelah tamat SMA, misalnya bagaimana agar mereka bisa ikut magang kerja kepada Mas Ranto di Jakarta, atau mengikuti jejak Pak Dwijo melanjutkan bersekolah lagi untuk kemudian jadi orang yang berhasil”.
Pak Sastro yang sejak tadi telah berada di tempat ini, lalu menyahuti:” setuju, Pak”. Bahkan menurut Pak Sastro, sebaiknya para pemudik yang telah berhasil ini —dalam suasana lebaran di mana mereka sedang ingin kembali kepada orang-orang dekatnya/keluarganya atau berdimensi asalnya— hendaknya membuat perkumpulan silaturahmi warga di perantauan untuk bisa ikut memikirkan sumbangan mereka bagi perbaikan dan kemajuan desa di sekitar lincak ini.
“Nah kalau kegiatan mikir untuk perbaikan diri dan keluarga (terutama bagi yang kekurangan) seperti ini bisa dilakukan, maka ini pertanda puasa kita bermakna bagi kehidupan kita”, sahut Pak Karso. Orang yang berpuasa Ramadhan karena telah berlatih “lapar dan dahaga” seharusnya berdampak pada tumbuhnya kepedulian kepada nasib orang-orang yang kesusahan atau kekurangan, terutama bagi keluarga dekat kita. Kalau tidak demikian, mungkin lebih tepat disebut “hanya mendapat lapar dan dahaga”.
Jika orang-orang yang sukses di negeri ini mau peduli terhadap mereka yang tertinggal atau belum sukses (dalam segala aspek kehidupan) sesuai kemampuannya dan lingkup jangkauan masing-masing, maka akan sangat mungkin dapat terkurangi adanya kesenjangan sosial. Jika kesenjangan sosial terhapuskan, maka kehidupan aman dan damai akan bisa kita dapatkan. Menjadikan semua orang sebagai “kaya raya” adalah suatu yang mustahil, sehingga yang hanya dapat dilakukan adalah memperpendek kesenjangan sosial dan menciptakan suasana yang bisa saling menghormati satu dan lainnya, sambung Pak Karso.
Mas Narno yang baru saja tamat SMA tahun ini dan kini masih nganggur, lalu menyela. “Jadi seperti saya ini, sebaiknya langsung magang kerja saja atau minta orang tua saya menyekolahkan saya lagi ke perguruan tinggi, Pak?” tanyanya. Pak Karso menjelaskan: kalau saja orang tua anda mampu membiayai dan anda mampu serta berminat ngangsu kaweruh yang lebih tinggi lagi, silahkan anda masuk ke perguruan tinggi agar menjadi orang ahli. Tetapi, sekiranya hal itu tidak memungkinkan, maka anda dapat langsung magang memasuki “universitas kehidupan”.
Kehidupan adalah tempat belajar hidup nyata sepanjang masa, menyelesaikan masalah-masalah tuntutan hidup yang dari waktu ke waktu berkembang sesuai dengan kehidupan manusia yang terus terus berubah. Itulah yang disebut “universitas kehidupan”. Anda juga akan menghadapi ujian-ujian dan harus lulus mengerjakannya. Jadi, bagi anda yang harus memilih dan menempuh jalur berbeda, yaitu antara yang masuk ke universitas “perguruan tinggi” dan univeritas “kehidupan”, sama-sama mempunyai tugas untuk “menjadi orang yang berhasil dan berguna” hidupnya. Semuanya sama pentingnya, hanya jalannya yang berbeda. Bahkan kelak satu dengan yang lainnya saling membutuhkan”, terus Pak Karso yang disahuti dengan anggukan semua yang hadir.
Agar kita tidak saling merasa lebih penting di antara kelompok satu dibandingkan dengan kelompok yang lainnya —seperti antara yang membantu dan yang dibantu, antara yang ahli dan yang bukan, antara orang kota dan desa, atau apapun yang berbeda— maka sebenarnya harus ditumbuhkan pengertian bahwa di antaranya saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, demikian usul Pak Warto yang pengunjung setia lincak ini. Lalu dia mengingatkan cerita saat Nabi Muhammad menjawab pertanyaan sahabatnya bahwa yang disebut “orang baik” adalah orang yang cepat lupa atas perlakuan baik yang pernah dilakukannya atau diberikannya kepada orang lain, sedangkan yang disebut “orang jelek” adalah orang yang selalu mengingat-ingat perbuatan baiknya yang telah diberikan kepada orang lain. Jika kondisi kita ini bisa menjadi seperti gambaran “orang baik” tersebut, karena semua orang merasa saling membutuhkan satu sama lainnya, maka mudah-mudahan kehidupan di sekitar lincak ini akan bisa menjadi rukun, damai dan sejahtera. Dijawab serentak oleh yang hadir: amiiiiin…, lalu mereka bubaran satu per satu, karena hari mulai senja. (erka)
https://ravik.staff.uns.ac.id/2009/10/22/mudik-mikir-untuk-diri-dan-keluarga/Lincak Pak KarsoDi lincak Pak Karso sore kemarin penuh sesak pengunjung karena banyak anggota keluarganya yang datang dari berbagai kota yang masih ber”mudik-ria” di kampung halamannya. Ada yang dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, bahkan luar Jawa. Mereka saling berkangen-kangenan dan saling bercerita tentang suka dan duka selama merantau. Mas Ranto yang...ravik ravik@uns.ac.idAdministratorRavik Karsidi Blog