Mas Guru Dwijo datang di lincak sore itu sambil senyam-senyum dan bersiul-siul menampakkan wajahnya yang sedang bergembira. Kedatangannya disambut oleh Pak Karso yang sudah ada di tempat itu sejak tadi, lalu bertanya:’ada apa tho mas Dwijo kok tampak gembira banget? “Ya jelas tho pak, saya dan teman-teman guru yang lain, saat ini sedang punya pengarep-arep gedhe. Baru saja wakil rakyat kita di Jakarta sana selesai nggedok UU Guru dan Dosen”. Dengan adanya hal tersebut semoga akan terjadi perlindungan terhadap profesi guru dan dosen . Lebih dari itu, semoga akan semakin jelas jaminan terhadap dua profesi tersebut. Begitulah Pak Karso, saya tadi sedang berangan-angan, membayangkan nikmatnya menjadi guru di masa yang akan datang, tegas Mas Dwijo.

Apakah bagi guru (terutama pegawai negeri/PNS) kondisi saat ini masih dirasa kurang nikmat, tho Mas Dwijo? sahut Pak Mumpuni (pensiunan PNS yang juga menjadi anggota di lincak ini). Jika dibandingkan dengan PNS lain toh masa pensiunnyapun masih lebih lama yaitu 60 tahun dan dosen 65 tahun. Guru dan dosen punya gaji fungsional selain gaji pokok. Sementara PNS lainnya hanya terima gaji saja, kan Pak? , lanjutnya. Ya, itu benar, Pak, sahut Mas Dwijo. Tapi toh nyatanya keadaan itu, saat ini masih jauh dari yang diharapkan dan kecukupan bila dibandingkan dengan beban tugas dan tanggung jawab guru dan dosen tersebut, lanjut Mas Dwijo.

Memang, kalau saja kita mau membandingkan dengan di beberapa negara maju atau yang paling dekat seperti Malaysia, di sana profesi guru dan dosen telah cukup mendapat perlindungan dan penghargaan. Gaji mereka jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Mereka bisa beli buku dan jasa informasi terbaru seperti jurnal agar tidak ketinggalan dengan perkembangan mutakhir, sehingga apa-apa yang disampaikan kepada murid-murid atau mahasiswanya bisa merupakan hal-hal yang baru dan mutakhir. Dari hal-hal itu saja guru dan dosen kita jauh ketinggalan dengan teman-temannya di negri lain, sahut Pak Karso.

Sambil terus menjelaskan Pak Karso mengatakan: Yaaah…. mungkin memang kita tidak boleh membandingkan seperti itu ya, karena syarat pendidikan yang cukup untuk menjadi dosen atau guru di negara luar tadi sudah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan persyaratan kita di sini. Karena alasan kebutuhan mendesak untuk pengadaan guru, kita pernah mendidik dan mengangkat guru SD hanya dari lulusan SD ditambah 4 tahun pendidikan ( atau setara SMP ditambah 1 tahun, yaitu Sekolah Guru B). Pada zamannya lulusan SGB, ya sudah peng-pengan, karena memang dipilih dari lulusan SD yang terbaik. Produsen guru yang lebih tinggi lagi yaitu Sekolah Guru A (SGA), yaitu lanjutan dari lulusan SGB terpilih atau menerima tamatan SMP lulusan terbaik. Secara berlanjut lalu sekolah tersebut diubah menjadi Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Lalu, kemudian belum lama ini kita sudah mensyaratkan untuk menjadi guru SD haruslah tamatan Diploma 2. Sementara persyaratan pendidikan di negara lain tadi, sejak dulu memang sudah tinggi. Persyaratan yang cukup untuk memegang profesi guru atau dosen di negri kita baru saja diatur atau tepatnya akan diberlakukan aturan dengan PP no.19 Tahun 2005 melalui Standar Nasional Pendidikan (SNP), dan itupun perberlakuannya masih pakai masa tenggang toleransi sampai tujuh tahun yang akan datang. Jadi, start kita memang ketinggalan dengan negara lain.

Lalu mas Warto menyela: …..memang bangsa kita ini kan biasa bekerja secara adhoc. Atas nama kebutuhan yang mendesak, lalu bikin proyek ini dan itu, dan di kemudian hari jikalau nantinya kurang memenuhi syarat, lalu diadakan pendidikan penyetaraan ( termasuk pada guru-guru SD kita). Dulu yang tamatan SGB diadakan penyetaraan SPG, dan kemudian yang lulusan SPG diadakan penyetaraan Diploma 2 dengan kursus-kursus atau inservice training. Sementara seperti di Malaysia, misalnya, kalau tidak ada yang mencukupi syarat, mereka lebih memilih mengkontrak saja dari negara lain, sambil mendidik dulu atau menunggu hasil pendidikan guru yang mencukupi persyaratan. Kita diingatkan pada tahun 1970 an banyak guru-guru terbaik kita dipinjam atau dikontrak oleh Malaysia. Jadi, mereka lebih mau bersabar dan menetapkan dulu standar yang tinggi untuk menjadi guru. Sebaliknya kita tidak, ya Pak ? sela Pak Mumpuni. Itulah, kalau kita tidak sabar. Tampaknya sudah menjadi budaya dan sikap kita, apa-apa cenderung diproyekkan, atau, orientasinya hanya jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan segera dengan memanfaatkan apa adanya. Kalau saja “mencetak guru” yang akan bertugas sebagai “pencetak/pembimbing generasi masa datang” juga dengan orientasi jangka pendek, tentu bisa dibayangkan hasilnya, sahut Pak Karso.

Lalu bagaimana ke depan dari perbaikan nasib guru-guru kita, Pak?: tanya Pak Dwijo. Lalu dijawab Pak Karso:… untuk perbaikan kualitas dan masa depan guru-guru di negeri ini ke depan , memang kita bisa berharap besar dengan akan diberlakukannya dua peraturan, yaitu (1) PP no.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan (2) Rencana UU Guru dan Dosen yang baru saja tanggal 6 Desember lalu disyahkan oleh DPR. Kesejahteraan guru dan dosen memang akan ditingkatkan dan persyaratan menjadi guru dan dosen juga diatur di dalamnya. Misalnya, untuk menjadi guru SD, SMP, SMA/K seseorang harus memiliki tingkat pendidikan Diploma 4 atau Sarjana S1. Untuk menjadi dosen S1 harus lulusan S2 (Magister), dan menjadi dosen S2 harus S3 ( Doktor). Selain itu harus memenuhi persyaratan kompetensi tertentu yang dipersyaratkan dan memiliki sertifikasi profesi sebagai guru atau dosen. Jadi, peningkatan kesejahteran guru atau dosen melalui pemberian tunjangan profesi memang dikaitkan dengan adanya syarat kepemilikan kompetensi dan ketentuan sertifikasi profesi guru atau dosen. Memang kesannya berat ( dan mungkin membebani), tapi itulah konsekwensi dan patokan normatif yang akan kita terapkan untuk menuju pengembangan sumberdaya manusia Indonesia yang lebih baik di masa depan.

Bagaimana dengan nasib saya yang baru punya ijazah Diploma 2 ini Pak? Apakah untuk bisa mendapatkan tunjangan profesi saya harus sekolah lagi ke Diploma 4 atau Sarjana S1? Apa kalau saya tidak atau belum punya ijazah Diploma 4 / Sarjana S1 berarti juga tidak akan mendapatkan tunjangan profesi tersebut? tanya Pak Dwijo agak sedih. “…..Itulah Pak Dwijo, masalahnya. Di satu sisi kita ingin terjadi peningkatan kesejahteraan dan perlindungan profesi guru atau dosen, tetapi di sisi yang lain dengan dipatoknya kriteria seperti itu masih banyak guru-guru kita yang belum memenuhi kriteria tersebut. Jadi, ya sama saja artinya bagi yang belum memenuhi syarat, bahkan sekan-akan malah memberatkan atau mengada-ada. Kesannya, lalu … akan memberi kok minta yang berat-berat. Begitu, pak” tegas Pak Karso, sambil melanjutkan bicaranya. Yaaah…..kita hanya bisa berharap agar UU Guru dan Dosen segera diundangkan dan untuk segera disusun Peraturan Pemerintah (PP) yang mampu menjabarkan dan menampung hal-hal yang sifatnya kondisional seperti yang dialami Pak Dwijo ini dan bisa teratasi baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Pak Dwijo masih sambil berangan-angan lalu menjawab:… semoga dan amiiin “. Lalu, satu per satu meninggalkan lincak. (rk).

ravikLincak Pak KarsoMas Guru Dwijo datang di lincak sore itu sambil senyam-senyum dan bersiul-siul menampakkan wajahnya yang sedang bergembira. Kedatangannya disambut oleh Pak Karso yang sudah ada di tempat itu sejak tadi, lalu bertanya:’ada apa tho mas Dwijo kok tampak gembira banget?” “Ya jelas tho pak, saya dan teman-teman guru yang...KITA akan menjadi seperti apa yang KITA pikirkan.