Sekolah Rakyat yang Menegaskan Hak, Bukan Pemberian
Negara harus kembali ke jalur konstitusi: mengatur, mengakui, dan mendukung pendidikan sebagai hak dasar, bukan belas kasihan.
Tulisan Okky Madasari berjudul ”Sekolah Rakyat yang Berdaulat” (Kompas, 25 Juli 2025) menyuarakan kritik sekaligus harapan yang kuat terhadap masa depan Sekolah Rakyat di Indonesia. Dengan sensitivitas sastrawi dan argumentasi sosiologis, ia menunjukkan bagaimana niat baik negara bisa berujung pada kekeliruan apabila dilepaskan dari pemahaman fundamental tentang pendidikan sebagai hak warga negara, bukan sekadar belas kasih sosial.
Saya sepenuhnya sependapat. Pendidikan adalah hak konstitusional, bukan hadiah. Karena itu, penempatan Sekolah Rakyat di bawah Kementerian Sosial adalah kesalahan struktural dan paradigma yang harus segera dikoreksi. Gagasan bahwa Sekolah Rakyat untuk mengatasi dan sebagai bagian dari strategi pengentasan rakyat dari kemiskinan ekstrem perlu didukung dan diteruskan untuk menyasar keluarga sangat miskin. Kita pun tahu bahwa Kemensos sebagai otoritas pengelola dan penanggung jawab utama telah berkoordinasi dengan kementerian lain untuk memastikan pelaksanaan program berbasis boarding school dan dukungan sosial bagi siswanya.
:quality(80)/https://cdn-dam.kompas.id/images/2025/07/23/a27985c757d9bf41c74549080eecffa9-20250724_Opini_Digital_2.jpg)
Namun, jika negara sungguh-sungguh ingin menghadirkan Sekolah Rakyat yang membebaskan dan bermartabat, pengelolaannya secara perlahan tapi pasti harus berada di bawah koordinasi sistem pendidikan nasional—khususnya melalui Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus (PMPK) di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah.
Sekolah alternatif, bukan sekolah kelas dua
Pendidikan alternatif bukan barang baru di negeri ini. Masyarakat sipil telah lama melahirkan berbagai model pendidikan rakyat: dari sanggar anak, homeschooling komunitas, hingga sekolah berbasis kampung dan alam. Nama-nama seperti Sanggar Anak Akar di Jakarta, Sekolah Qaryah Thayyibah di Salatiga, atau beberapa contoh lain sejenis menjadi bukti bahwa pendidikan yang berpijak pada realitas lokal bisa berjalan tanpa intervensi birokrasi negara.
Penulis pun pernah melakukan pendidikan alternatif ini yang diselenggarakan oleh LPTP Surakarta dengan berfokus pada pengembangan teknologi tepat guna dan pemberdayaan masyarakat desa, dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian ekonomi mereka.
Yang membedakan adalah: inisiatif masyarakat sipil ini berangkat dari paradigma pemberdayaan, bukan kasihan. Pendidikan dilihat sebagai proses pembebasan, bukan pemeliharaan keterikatan. Sekolah Rakyat versi yang dikelola Kemensos—lebih dekat pada logika bantuan sosial (bansos), bukan logika emansipasi.
Sebagaimana dikatakan Paulo Freire (1970), pendidikan harus bisa membangkitkan kesadaran kritis dan menumbuhkan keberanian bertanya serta membayangkan dunia yang lebih adil bagi peserta didik. Sekolah Rakyat diharapkan bisa menjadi tempat pengajaran bagi anak dari keluarga miskin ekstrem yang mampu menumbuhkan kemandirian, bukan ketergantungan.
:quality(80)/https://cdn-dam.kompas.id/images/2025/03/27/8e55011defc8fc0af05a762a81345254-20250327_Opini_Sekolah_Rakyat_Jangan_Berhenti_di_Tembok_dan_Atap.jpg)
Ivan Illich (1971) telah mengingatkan bahwa lembaga pendidikan bisa menjadi alat pelanggeng ketimpangan apabila terlalu terstruktur, terpusat, dan seragam. Ia mengusulkan pendidikan seperti Sekolah Rakyat dikembalikan ke komunitas: bebas, kontekstual, dan relevan bagi kehidupan nyata.
Apabila sistem Sekolah Rakyat ini berdiri terpisah dari sistem pendidikan nasional—dengan kurikulum yang berbeda atau bahkan seadanya, guru yang belum tersertifikasi, dan ruang belajar yang tidak dikelola secara baik—Sekolah Rakyat justru berpotensi mengabadikan ketimpangan yang ingin diatasi.
Kita tidak bisa membiarkan Sekolah Rakyat menjadi ”sekolah kelas dua” hanya karena ditujukan bagi anak-anak dari keluarga miskin ekstrem. Mereka adalah warga negara yang sama, dengan hak pendidikan yang setara, bukan obyek belas kasih negara.
Dikembalikan pada Kementerian Pendidikan
Solusinya bukan membubarkan, tetapi memulai menata ulang. Sekolah Rakyat harus dikembalikan dalam koordinasi Kementerian Pendidikan, khususnya melalui jalur pendidikan luar sekolah atau pendidikan nonformal. Di sini, Sekolah Rakyat bisa beroperasi sebagai lembaga pendidikan komunitas—diselenggarakan oleh organisasi masyarakat, yayasan, atau pesantren—dengan dukungan negara dalam bentuk legalitas, pendanaan, pelatihan guru, dan pengakuan hasil belajar.
Sistem pendidikan kesetaraan kita (Paket A, B, C) sudah menyediakan mekanisme Ujian Penyetaraan (UPER) atau asesmen kompetensi, dengan ijazah yang diakui negara. Model ini bisa diadopsi dan disempurnakan untuk Sekolah Rakyat. Dengan demikian, murid-muridnya bisa melanjutkan pendidikan atau masuk dunia kerja tanpa stigma.
Ini juga sejalan dengan amanat Pasal 5 dan Pasal 13 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003) yang menjamin hak warga atas pendidikan dan membuka tiga jalur pendidikan: formal, nonformal, dan informal. Sekolah Rakyat berada tepat di jantung pendidikan nonformal—jalur yang fleksibel, adaptif, dan partisipatif.
:quality(80):watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https://cdn-dam.kompas.id/images/2025/05/30/8f5dd4227fdfa15c85bc6bb427005f1e-20250530_OPINI_Pendidikan_Dasar_Bebas_Biaya.jpg)
Partisipatif, bukan seragam
Kurikulum Sekolah Rakyat tidak boleh diturunkan dari atas. Ia harus tumbuh dari bawah—dari kampung-kampung, komunitas, dari cerita orang tua, dari pengalaman anak-anak. Negara cukup menyediakan kerangka, alat bantu dan subsidi yang kemplementer atau melengkapi—bukan mendikte standar yang seragam karena bahkan sering kali justru bisa mematikan kreativitas.
Pendidikan adalah ruang perjuangan. Di dalamnya, rakyat belajar mengenali diri, memahami struktur ketidakadilan, dan membayangkan masa depan yang lebih manusiawi. Sekolah Rakyat, jika ingin menjadi alat perubahan, harus berdaulat: bebas dari logika penyantunan, bebas dari birokrasi sosial, dan bebas dari model pendidikan yang meninabobokan.
Sudah waktunya negara berhenti menjadikan pendidikan bagi kelompok warga miskin sebagai proyek sosial. Pendidikan bukanlah derma negara, melainkan kewajiban konstitusional. Sekolah Rakyat tidak boleh dikelola dengan logika bansos, tetapi dengan visi pemberdayaan jangka panjang.
Sekolah Rakyat adalah kesempatan. Tapi peluang itu bisa gagal apabila kita tidak segera mengoreksi arah. Negara harus kembali ke jalur konstitusi: mengatur, mengakui, dan mendukung pendidikan sebagai hak dasar, bukan belas kasihan. Kementerian Sosial bukan tempat yang tepat untuk mengelola sistem pendidikan—sekecil dan sealternatif apa pun bentuknya.
Hanya dengan demikian, Sekolah Rakyat bisa menjadi titik tolak lahirnya generasi baru rakyat yang sadar, merdeka, dan lebih berdaya.
Ravik Karsidi, Guru Besar Sosiologi Pendidikan Universitas Sebelas Maret, aktif dalam pendidikan masyarakat.
Dimuat di kompas, tanggal 2 Agustus 2025 https://www.kompas.id/artikel/sekolah-rakyat-yang-menegaskan-hak-bukan-pemberian?open_from=Artikel_Opini_Page
https://ravik.staff.uns.ac.id/2025/08/02/sekolah-rakyat-yang-menegaskan-hak-bukan-pemberian/https://ravik.staff.uns.ac.id/files/2025/08/Screen-Shot-2025-08-05-at-16.30.29-1024x640.pnghttps://ravik.staff.uns.ac.id/files/2025/08/Screen-Shot-2025-08-05-at-16.30.29-150x150.pngArtikelNegara harus kembali ke jalur konstitusi: mengatur, mengakui, dan mendukung pendidikan sebagai hak dasar, bukan belas kasihan. Tulisan Okky Madasari berjudul ”Sekolah Rakyat yang Berdaulat” (Kompas, 25 Juli 2025) menyuarakan kritik sekaligus harapan yang kuat terhadap masa depan Sekolah Rakyat di Indonesia. Dengan sensitivitas sastrawi dan argumentasi sosiologis, ia menunjukkan...ravik ravik@uns.ac.idAdministratorRavik Karsidi Blog