Kunci Revitalisasi Koperasi Desa

DUA BELAS Juli diperingati sebagai Hari Koperasi Nasional—momentum yang selalu strategis untuk meninjau ulang arah dan masa depan koperasi, khususnya di desa-desa. Di tengah berbagai tantangan pembangunan ekonomi pedesaan, koperasi tetap diyakini sebagai instrumen penting dalam mendorong pemerataan kesejahteraan dan kemandirian rakyat. Namun, fakta di lapangan memperlihatkan bahwa banyak koperasi desa, terutama Koperasi Unit Desa (KUD) dan koperasi-koperasi lokal lainnya, mengalami stagnasi, bahkan berhenti total. Kelembagaannya masih ada, tetapi fungsinya tak lagi berjalan. Karena itu, revitalisasi koperasi desa —yakni menghidupkan kembali koperasi yang mati suri atau yang sekadar formalitas ada— menjadi agenda krusial saat ini.
Presiden Prabowo Subianto merespon kebutuhan ini dengan menetapkan kebijakan strategis berupa pembentukan Koperasi Desa (KopDes) Merah Putih, yang ditargetkan berdiri di 70.000 hingga 80.000 desa di seluruh Indonesia. Kebijakan ini merupakan langkah terobosan yang patut diapresiasi. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada sinergi multipihak: pemerintah, masyarakat, pelaku usaha, akademisi, dan komunitas lokal. Tanpa kolaborasi lintas sektor, koperasi desa hanya akan kembali menjadi proyek administratif yang tidak menyentuh akar persoalan ekonomi rakyat yang makin terbawa arus besar ekonomi kapitalistik.
Deliberatif dan Kolaborasi
Selama ini, pembangunan koperasi desa seringkali dilakukan secara teknokratis dan birokratis. Fokus utamanya adalah legalitas kelembagaan dan pelaporan formal, sementara substansi partisipasi dan inovasi ekonomi kerap terabaikan. Padahal, koperasi adalah gerakan sosial ekonomi, bukan hanya lembaga usaha. Untuk itu, paradigma pembangunan koperasi perlu digeser dari pendekatan administratif menuju pendekatan deliberatif dan partisipatif.
Jürgen Habermas (1984), seorang sosiolog Jerman, menekankan pentingnya ruang publik deliberatif sebagai basis demokrasi partisipatif. Bagi koperasi desa, ruang deliberatif berarti memberi ruang kepada anggota masyarakat untuk menyampaikan ide, kritik, dan solusi secara terbuka dan setara. Koperasi tidak boleh hanya menjadi tempat simpan-pinjam, melainkan arena dialog ekonomi rakyat yang lebih dinamis. Revitalisasi koperasi KUD yang sebagian mati suri tidak bisa sekadar menghidupkan struktur lamanya, tetapi harus disertai pembaruan nilai, struktur, dan fungsi yang kontekstual dengan kebutuhan masyarakat desa masa kini.
Revitalisasi koperasi desa, termasuk dalam kerangka KopDes Merah Putih, tidak bisa dilakukan oleh pemerintah saja, tetapi juga dibutuhkan kolaborasi multipihak yang kuat dan berkelanjutan. Misalnya, pemerintah desa dan daerah menjadi fasilitator regulatif dan teknis. Sekolah dan perguruan tinggi dapat menyumbangkan pendekatan edukatif dan hasil risetnya. Pemuda desa dapat menjadi agen inovasi dan digitalisasi, sementara itu para pelaku usaha dan komunitas lokal dapat menjadi mitra dalam memperluas jejaring usaha koperasi tersebut.
Menurut data Kemenkop UKM (2023), dari sekitar 127 ribu koperasi aktif di Indonesia, hanya sekitar 25–30% yang dinilai sehat dan berfungsi optimal, mayoritas di antaranya berada di wilayah pedesaan yang memiliki jejaring kuat dengan komunitas lokal. Salah satu best practice koperasi desa yang berhasil dan dapat direplikasi antara lain Koperasi Agro Niaga Jabung di Malang, Jawa Timur, yang tumbuh dari koperasi peternak sapi menjadi koperasi multipihak yang melayani simpan pinjam, produksi, dan pemasaran hasil pertanian secara terintegrasi. Kunci keberhasilan koperasi desa tersebut terletak pada manajemen yang transparan, kepemimpinan yang partisipatif, serta kolaborasi erat dengan pemerintah daerah dan sektor swasta. Model seperti ini layak direplikasi untuk memperkuat ekonomi desa secara berkelanjutan.
Pendekatan ini selaras dengan teori pemberdayaan komunitas yang dikemukakan oleh Frank Tesoriero (2012). Menurutnya, pemberdayaan harus dilakukan bersama masyarakat, bukan atas nama masyarakat. Koperasi sebagai alat pemberdayaan ekonomi harus dibangun melalui partisipasi warga, bukan instruksi dari atas. Maka, kolaborasi tidak cukup simbolik, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk forum, aliansi, dan sistem kerja bersama yang nyata.
Diklat dan Saling Percaya
Salah satu kelemahan penting koperasi desa yang lama (termasuk kebanyakan KUD) adalah minimnya pendidikan dan latihan koperasi bagi anggotanya. Banyak warga belum memahami secara menyeluruh prinsip koperasi—dari asas sukarela, demokrasi ekonomi, sampai keadilan pembagian hasil. Akibatnya, koperasi menjadi lembaga yang elitis atau formalitas tanpa makna.
Untuk upaya revitalisasi koperasi desa melalui KopDes Merah Putih harus disertai dengan gerakan literasi koperasi secara masif, mulai dari sekolah hingga forum warga. Pendidikan/pelatihan (diklat) koperasi ini tidak boleh hanya teoritis, tetapi juga praktis dan berbasis pengalaman terutama aspek keberhasilan dan kegagalan di masa lalu. Sekolah-sekolah di desa bahkan bisa menjadi titik masuk awal melalui pembentukan dan pengembangan koperasi siswa sebagai pelatihan dan laboratorium solidaritas ekonomi generasi muda di desa.
Selain itu, kunci keberhasilan koperasi desa adalah modal sosial khususnya kepercayaan, sebagaimana dijelaskan oleh Robert Putnam (2000). Koperasi desa hanya bisa bertahan jika anggotanya saling percaya, memiliki norma bersama, dan jaringan sosial yang kuat di antara anggota. Sayangnya, banyak koperasi desa gagal karena hilangnya kepercayaan antar anggota dan antara anggota dengan pengurus.
Oleh sebab itu, revitalisasi koperasi desa harus dimulai dari membangun kembali kepercayaan. Pengurus koperasi harus mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi terbuka. Dengan penggunaan teknologi digital sangat penting digunakan untuk pencatatan transaksi, laporan keuangan, hingga forum anggota untuk membangun kontrol sosial yang sehat. Tanpa kepercayaan, koperasi akan kembali menjadi lembaga yang disandera elite lokal atau sarana rente semata. Dengan kepercayaan, kopdes bisa menjadi ruang tumbuhnya solidaritas dan inovasi lokal ekonomi desa.
—
Pemerintah sebagai Enabler
Peran pemerintah dalam program pengembangan KopDes Merah Putih sangat strategis. Namun, keberhasilan program ini akan ditentukan bukan oleh sejauh mana pemerintah mengontrol koperasi desa, melainkan sejauh mana bisa memfasilitasi kolaborasi. Pemerintah idealnya bertindak sebagai enabler—pencipta ekosistem yang mendukung masyarakat mengembangkan koperasi desa secara mandiri dan adaptif.
Peran pemerintah sebagai enabler menuntut perubahan paradigma dari pendekatan birokratis ke pendekatan fasilitatif dan partisipatif. Artinya, negara tidak bertindak sebagai pelaku tunggal pembangunan, melainkan sebagai penyedia ruang, regulasi yang inklusif, serta infrastruktur sosial dan ekonomi yang memungkinkan warga desa bergerak secara mandiri. Pemerintah perlu membangun sistem insentif dan regulasi yang ramah terhadap inisiatif lokal—bukan malah mengekangnya dengan prosedur administratif yang rumit. Ketika koperasi desa diberi kepercayaan, akses, dan pendampingan yang memadai, maka semangat gotong royong dan kemandirian ekonomi warga desa akan tumbuh secara organik. Inilah bentuk nyata demokratisasi ekonomi yang berpihak pada desa.
Fasilitasi pemerintah dapat berupa: pendampingan kelembagaan koperasi; akses permodalan dengan bunga lunak; pelatihan manajemen dan digitalisasi koperasi; kemitraan koperasi dengan BUMDes, UMKM dan swasta; penguatan pasar lokal dan regional bagi produk-produk koperasi desa. Lebih dari itu, pemerintah harus membuka ruang dialog dan evaluasi agar tidak hanya bersifat top-down, melainkan berbasis aspirasi warga desa.
Masa Depan Ekonomi Desa
Koperasi bukan sekadar masa lalu ekonomi rakyat, tetapi justru sangat relevan untuk masa depan ekonomi Indonesia, terutama menyongsong era digital, ekonomi hijau, dan ekonomi yang keberlanjutan. Kita berharap KopDes Merah Putih dapat menjadi alat transformasi desa menuju ekonomi berbasis komunitas yang inovatif dan adil.
Koperasi desa dapat dikembangkan di hampir semua sektor pedesaan (seperti: pertanian, energi, lingkungan, industri kreatif, bahkan platform digital lokal. Untuk itu, maka sangat penting terus memperkuat motivasi pribadi dalam berkoperasi di desa, membangun kesadaran bahwa berkoperasi bukan sekadar kerja kolektif demi kepentingan bersama, tetapi juga sarana nyata untuk menolong diri sendiri secara berkelanjutan. Pengurus dan anggota perlu melihat bahwa manfaat koperasi dapat dirasakan langsung, seperti akses modal murah, peningkatan kapasitas usaha, dan pasar yang lebih stabil—mirip dengan insentif dalam wirausaha mandiri. Selama ini, motivasi ekonomi lebih banyak mengarah ke wirausaha karena hasilnya cepat terlihat dan langsung dinikmati, sementara koperasi seringkali dipersepsikan lamban dan penuh beban kolektivitas. Maka, pendekatan baru harus menekankan bahwa koperasi yang sehat justru dapat memberi keuntungan pribadi secara lebih adil dan tahan lama karena dibangun dari semangat self-help yang terorganisir—yakni gotong royong yang bukan menghilangkan kepentingan pribadi, tetapi justru memperkuatnya dalam kerangka saling menguntungkan.
Revitalisasi koperasi desa, terutama melalui program KopDes Merah Putih, adalah peluang emas untuk membangun kembali ekonomi desa. Dengan menggeser paradigma pembangunan koperasi dari administratif ke deliberatif, dengan memperkuat pendidikan/pelatihan perkoperasian dan modal sosial, serta menjadikan pemerintah sebagai fasilitator/enabler bukan pengendali, kita akan bisa membangun koperasi desa yang bukan hanya kuat secara kelembagaan, tetapi juga bermakna secara sosial. Kini saatnya koperasi desa untuk dihidupkan sebagai jantung ekonomi rakyat yang tangguh, adil, dan berkelanjutan. (*)
Artikel ini telah terbit di Opini Media Indonesia Tgl 22 Juli 2025 https://mediaindonesia.com/opini/793673/kunci-revitalisasi-koperasi-desa
https://ravik.staff.uns.ac.id/2025/07/22/kunci-revitalisasi-koperasi-desa/https://ravik.staff.uns.ac.id/files/2025/07/IMG_965E122E6365-1-709x1024.jpeghttps://ravik.staff.uns.ac.id/files/2025/07/IMG_965E122E6365-1-150x150.jpegArtikelDUA BELAS Juli diperingati sebagai Hari Koperasi Nasional—momentum yang selalu strategis untuk meninjau ulang arah dan masa depan koperasi, khususnya di desa-desa. Di tengah berbagai tantangan pembangunan ekonomi pedesaan, koperasi tetap diyakini sebagai instrumen penting dalam mendorong pemerataan kesejahteraan dan kemandirian rakyat. Namun, fakta di lapangan memperlihatkan bahwa banyak...ravik ravik@uns.ac.idAdministratorRavik Karsidi Blog