REAKTUALISASI PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
REAKTUALISASI PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIDIKAN DI INDONESIA
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa bergesernya paradigma pembangunan yang sentralistik ke desentralistik telah mengubah cara pandang penyelenggara negara dan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan. Pembangunan harus dipandang sebagai bagian dari kebutuhan masyarakat itu sendiri dan bukan semata kepentingan negara. Pembangunan seharusnya mengandung arti bahwa manusia ditempatkan pada posisi pelaku dan sekaligus penerima manfaat dari proses mencari solusi dan meraih hasil pembangunan untuk dirinya dan lingkungannya dalam arti yang lebih luas. Dengan demikian, masyarakat harus mampu meningkatkan kualitas kemandirian mengatasi masalah yang dihadapinya, baik secara individual maupun secara kolektif.
Namun dalam kenyataannya, arti pembangunan mengalami gelombang pasang sesuai kebutuhan dan tuntutannya. Pada saat di mana suatu program pembangunan didominasi oleh peran pemerintah dan peran masyarakat lemah, maka masyarakat lalu hanya ditempatkan sebagai saluran mempercepat program-program pembangunan itu. Sebaliknya, apabila kemudian peran masyarakat kuat dan ditempatkan sebagai subjek, maka akan bermakna sebagai upaya pemberdayaan atau penguatan masyarakat, baik secara institusional maupun perseorangan anggota masyarakat (Karsidi, 2002).
Penguatan masyarakat secara institusional bisa diartikan sebagai pengelompokan anggota masyarakat sebagai warga negara mandiri yang dapat dengan bebas dan egaliter bertindak aktif dalam wacana dan praksis mengenai segala hal yang berkaitan dengan masalah kemasyarakatan pada umumnya. Termasuk di dalamnya adalah jejaring, pengelompokan sosial yang mencakup mulai dari rumah tangga (household), organisasi-organisasi sukarela (termasuk partai politik), sampai organisasi-organisasi yang mungkin pada awalnya dibentuk oleh negara, tetapi melayani kepentingan masyarakat yaitu sebagai perantara dari negara di satu pihak dengan individu dan masyarakat di pihak lain (Hikam, 1993).
Belajar dari pengalaman bahwa ketika peran pemerintah sangat dominan dan peranserta masyarakat hanya dipandang sebagai kewajiban, maka masyarakat justru akan terpinggirkan dari proses pembangunan itu sendiri. Penguatan partisipasi masyarakat haruslah menjadi bagian dari agenda pembangunan itu sendiri, lebih-lebih dalam era globalisasi. Peranserta masyarakat harus lebih dimaknai sebagai hak daripada sekadar kewajiban. Kontrol rakyat (anggota masyarakat) terhadap isi dan prioritas agenda pengambilan keputusan pembangunan harus dimaknai sebagai hak masyarakat untuk ikut mengontrol agenda dan urutan prioritas pembangunan untuk dirinya atau kelompoknya. Oleh karena itu, tidak akan dapat diterima jika satu golongan mendiktekan keinginan dan kepentingannya dalam isi dan prioritas agenda pengambilan keputusan pembangunan, apakah itu golongan di dalam negeri seperti pejabat pemerintah atau usahawan, dan eksternal seperti kekuatan besar misalnya lembaga (keuangan) internasional (Karsidi, 2002)
Korten (1980; 1984), mengatakan bahwa titik pusat perhatian masa pasca industri adalah pada pendekatan ke arah pembangunan yang lebih berpihak kepada rakyat. Individu bukanlah sebagai objek, melainkan berperan sebagai pelaku, yang menentukan tujuan, mengontrol sumber daya, dan mengarahkan proses yang mempengaruhi hidupnya sendiri.
Pembangunan yang memihak rakyat menekankan nilai pentingnya prakarsa dan perbedaan lokal. Oleh karena itu, maka pembangunan seperti itu mementingkan sistem swa-organisasi yang dikembangkan di sekitar satuan-satuan organisasi berskala manusia dan masyarakat yang berswadaya. Kesejahteraan dan realisasi diri manusia merupakan jantung konsep pembangunan yang memihak rakyat. Perasaan berharga diri adalah sama pentingnya bagi pencapaian mutu hidup yang tinggi.
Penyadaran diri masyarakat merupakan satu di antara argumen-argumen yang paling telak dan tajam diajukan oleh Paulo Freire (1984), dan ini adalah inti dari usaha bagaimana bisa mengangkat rakyat dari kelemahannya selama ini. Kesempitan pandangan dan cakrawala rakyat diubah ke arah suatu keinsyafan, perasaan, pemikiran, dan gagasan bahwa hal-ihwal dapat menjadi lain dan tersedia alternatif-alternatif jika dirinya terlibat langsung menyelesaikan masalah-masalahnya.
Bentuk aktualisasi dan pernyataan penyadaran diri masyarakat secara kolektif dapat berupa partisipasinya dalam proses pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kebutuhan dirinya dan kelompoknya dalam komunitas yang melingkupinya. Cara-cara kolektif berpartisipasi oleh masyarakat bisa teraktualisasikan dalam bentuk musyawarah dan juga terbentuknya institusi lokal oleh masyarakat itu sendiri.
Musyawarah adalah sebuah pendekatan kultural khas Indonesia yang dapat dimasukkan dalam proses eksplorasi kebutuhan dan identifikasi masalah. Musyawarah juga merupakan bentuk sarana untuk meningkatkan partisipasi dan rasa memiliki atas keputusan dan rencana pembangunan. Musyawarah dapat merupakan cara analisis kebutuhan (needs) dan tidak sekadar keinginan (wants) yang bersifat superfisial demi pemenuhan kebutuhan sesaat. Oleh karena itu pemilihan orang-orang yang mewakili sebagai peserta musyawarah untuk suatu keperluan seperti merumuskan kebutuhan masyarakat haruslah benar-benar yang mampu menyalurkan aspirasi masyarakat yang diwakilinya. Masyawarah harus dipandang sebagai bentuk dari community needs analysis.
Langkah lain dalam proses partisipasi masyarakat itu adalah pembentukan kelompok. Melalui kelompok akan dibina solidaritas, kerja sama, musyawarah, rasa aman dan percaya kepada diri sendiri (Karsidi, 2001). Salah satu cara yang efektif untuk membentuk kelompok adalah melalui pendekatan kepentingan yang sama secara primordial. Dalam kelompok primordial itu, para anggota kelompok akan memperoleh referensi yang sama. Dengan bertolak dari kelompok primordial, maka para anggota akan merasakan adanya hal-hal baru jika mereka bersedia membandingkannya dengan situasi lama. Ini akan menimbulkan keasyikan dan motivasi tersendiri. Melalui kelompok, para anggota akan menyusun program, dan bekerja secara sistematis, serta bisa merasakan adanya perkembangan dan kemajuan sebagai hasil kegiatan mereka.Pembentukan dan pengembangan kelompok masyarakat dapat dikatakan sebagai basis dari strategi pembangunan dari bawah. Dari kelompok-kelompok itu diharapkan akan timbul dinamika dari bawah. Hal yang mendasar dalam kelompok adalah perlunya penyadaran warga masyarakat untuk mau dan mampu berpartisipasi sehingga dalam kelompok terjadi dinamika sebagai institusi masyarakat.
Pada dasarnya, partisipasi masyarakat telah terjadi di sekolah dalam praktik penyelenggaraan musyawarah maupun pembentukan institusi lokal. Dua jenis kebijakan pemerintah tentang Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di sekolah-sekolah tingkat dasar dan menengah serta Majelis Wali Amanah (MWA) di perguruan tinggi BHMN adalah contoh dari bentuk perwujudan mekanisme dan struktur kelembagaan untuk menyalurkan partisipasi masyarakat dalam penyelengaraan pendidikan.Masalahnya adalah apakah kedua contoh kelembagaan tersebut telah mampu menjadi saluran partisipasi yang benar-benar mewakili masyarakat yang seharusnya diwakilinya. Lebih dari itu, apakah lembaga-lembaga tersebut telah menjalankan fungsi penyaluran partisipasi masyarakat dari yang seharusnya disalurkan. Selama ini keterwakilan dalam suatu organisasi atau forum biasanya diserahkan kepada warga negara yang digolongkan sebagai tokoh masyarakat atau elit. Namun cara seperti ini terkadang justru menyebabkan warga biasa (yang bukan tokoh) tidak akan mampu menjadi bagian dari forum dan pada gilirannya tidak tersalurkan pula aspirasinya.
Komponen-komponen masyarakat baik orang tua siswa, atau kelompok-kelompok masyarakat lainnya di luar sekolah, seharusnya mempunyai tanggung jawab mengembangkan pendidikan secara mikro yaitu dalam lingkup pendidikan di sekolah dan secara makro adalah untuk pengembangan sumber daya manusia bangsa.
Dalam hal apa saja seharusnya mereka berpartisipasi? Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa tanggung jawab pengembangan pendidikan sebagai proses sosialisasi adalah berada pada orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat yang berkepentingan. Tanggung jawab tersebut tidak pernah lepas tetapi pernah mengendor, sejalan dengan dominannya paradigma pembangunan sentralistik. Oleh karena paradigma tersebut telah bergeser menuju kepada peluang yang lebar bagi teraktualisasikannya kembali partisipasi masyarakat, maka perlu segera dilakukan upaya pemulihan dan pengembalian tanggung jawab masyarakat terhadap pengembangan pendidikan baik dalam skala mikro maupun skala makro. Inilah yang saya sebut sebagai reaktualisasi partisipasi masyarakat, karena sebenarnya yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah justru masyarakat itu sendiri.Mengacu pada lingkup partisipasi masyarakat, maka dalam pengembangan pendidikan, masyarakat harus dilibatkan sejak dari proses perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasinya.
Program-program pembelajaran di sekolah berupa desain kurikulum dan pelaksanaannya, kegiatan-kegiatan nonkurikuler sampai pada pengadaan kebutuhan sumber daya untuk suatu sekolah agar dapat berjalan lancar, tampaknya harus sudah mulai diberikan ruang partisipasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Demikian pula di lembaga-lembaga pendidikan lainnya nonsekolah, ruang partisipasi tersebut harus dibuka lebar agar tanggung jawab pengembangan pendidikan tidak tertumpu pada lembaga pendidikan itu sendiri, lebih-lebih pada pemerintah sebagai penyelenggara negara.
Cara untuk penyaluran partisipasi dapat diciptakan dengan berbagai variasi cara sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah atau komunitas tempat masyarakat dan lembaga pendidikan itu berada. Kondisi ini menuntut kesigapan para pemegang kebijakan dan manajer pendidikan untuk mendistribusi peran dan kekuasaannya agar bisa menampung sumbangan partisipasi masyarakat. Sebaliknya, dari pihak masyarakat (termasuk orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat) juga harus belajar untuk kemudian bisa memiliki kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan.Sebagai contoh adalah tanggungjawab dunia usaha/industri. Mereka tidak bisa tinggal diam menunggu dari suatu lembaga pendidikan/sekolah sampai dapat meluluskan alumninya, lalu menggunakannya jika menghasilkan output yang baik dan mengkritiknya jika terdapat output yang tidak baik. Partisipasi dunia usaha/industri terhadap lembaga pendidikan harus ikut bertanggung jawab untuk menghasilkan output yang baik sesuai dengan rumusan harapan bersama. Demikian juga kelompok-kelompok masyarakat lain, termasuk orang tua siswa. Dengan cara demikian, maka mutu pendidikan suatu lembaga pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara lembaga pendidikan dan komponen-komponen lainnya di masyarakat tersebut.
Bagaimana dengan tanggungjawab negara terhadap pengembangan pendidikan? Uraian di atas bukan bermaksud untuk mengurangi tanggung jawab pemerintah sebagai penyelenggara negara dalam bidang pendidikan. Sebagaimana diamanatkan oleh UU Sisdiknas, 2003 bahwa pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan, serta berkewajiban memberikan layanan dan kemudahan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Pemerintah dan pemerintah daerah juga wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara dari usia tujuh sampai usia lima belas tahun. Lebih dari itu, sebenarnya peluang bagi orang tua/warga dan kelompok masyarakat masih sangatlah luas. Untuk itu, maka dalam kondisi kualitas layanan dan output pendidikan sedang banyak dipertanyakan mutu dan relevansinya, maka pemerintah seharusnya memberikan peluang yang luas bagi partisipasi masyarakat. Lebih dari itu, pemerintah perlu menyusun mekanisme sehingga orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat dapat berpartisipasi secara optimal dalam pengembangan pendidikan di Indonesia.