1. PENDAHULUAN

Salah satu implikasi globalisasi dalam pendidikan yaitu adanya deregulasi yang memungkinkan peluang lembaga pendidikan (termasuk perguruan tinggi asing) membuka sekolahnya di Indonesia. Oleh karena itu persaingan antar lembaga pendidikan akan semakin berat di masa depan.

Mengantisipasi perubahan-perubahan yang begitu cepat serta tantangan yang semakin besar dan kompleks, tiada jalan lain bagi lembaga pendidikan untuk mengupayakan cara-cara untuk meningkatkan daya saing lulusan serta produk-produk akademik lainnya, yang antara lain dicapai melalui revitalisasi perannya dalam rangka peningkatan mutu lembaga pendidikan.

Usaha mensetarakan diri dengan dunia internasional dalam bidang pendidikan telah banyak dan sedang dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga pendidikan swasta di tanah air. Munculnya layanan pendidikan yang berusaha menyetarakan diri dengan layanan yang berkelas internasional, misalnya, munculnya sekolah-sekolah yang disebut Sekolah Nasonal Bertaraf Internasional ( SNBI), membawa arah perguruan tinggi berkelas internasional ( world class university atau world recognized university), layanan pendidikan doble degree, credit tranfer, dan lain-lain layanan yang sejenis. Semua itu bermuara ingin mendapatkan hasil mutu yang lebih baik atas hasil pendidikan kita. Namun demikian, kita boleh waspada sekaligus bertanya, bukankah gagasan atau pikiran yang demikian mungkin mengandung juga makna bahwa kita sebenarnya tidak yakin dengan ’pendidikan nasional’ yang kita miliki sendiri, lalu mencari bentuk yang lain ?

Mutu adalah suatu terminologi subjektif dan relatif yang dapat diartikan dengan berbagai cara dimana setiap definisi bisa didukung oleh argumentasi yang sama baiknya. Secara luas mutu dapat diartikan sebagai agregat karakteristik dari produk atau jasa yang memuaskan kebutuhan konsumen/pelanggan. Karakteristik mutu dapat diukur secara kuantitatif dan kualitatif (Wirakartakusumah, 1998).

Dalam pendidikan, mutu adalah suatu keberhasilan proses belajar yang menyenangkan dan memberikan kenikmatan kepada pelanggan sebagai penerima produk dan jasa atau mereka yang nantinya akan merasakan manfaat produk dan jasa tersebut. Dalam penerapan paradigma baru penyelenggaraan pendidikan ( UU Sisdiknas, 2003) setidaknya telah diantisipasi dengan dirumusakannya kesediaan atas empat hal yang harus ditaati oleh penyelenggara pendidikan, yaitu: (1) penerapan prinsip otonomi pendidikan, (2) siap menerapkan akuntanbilitas publik, (3) siap diakreditasi bahkan good governance mengusahakannya, dan (4) dari waktu ke waktu melakukan evaluasi diri untuk perubahan yang lebih baik. Paradigma ini sejalan dengan penerapan praktek good governance..

Hal-hal tersebut juga terkait dengan perlunya kesadaran akan adanya ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan sebagai upaya melakukan kewaspadaan nasional ( istilah-istilah diadopsi dari Lemhannas, 2009) terhadap pengaruh asing terutama dalam bidang pendidikan . Keinginan untuk sama atau setara dengan output pendidikan luar negeri/asing, harus ditempatkan sebagai ’bukan tidak percaya diri’ atas pendidikan nasional kita selama ini, tetapi harus lebih diposisikan sebagai usaha menyesuaikan diri agar tidak tertinggal dengan pendidikan di luar negeri. Dengan demikian maka, kalaulah kita mengadopsi pengaruh-pengaruh asing dalam pendidikan, lalu bukan berarti melebur potensi pendidikan nasional yang sudah lama kita bangun.

Pengaruh pendidikan asing bisa akan menjadi ancaman bagi kita dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, jika kita tidak melakukan kewaspadaan nasional. Kewaspadaan nasional yang penting terhadap pengaruh pendidikan asing adalah agar tetap terjaganya perasaan satu komunitas Indonesia bagi peserta didik. Jika dengan menerima pengaruh pendidikan asing menyebabkan berbagai perbedaan tajam yang menghasilkan berbagai konflik unsur-unsur bangsa, maka segeralah kembali melakukan introspeksi sebagai bagian dari bentuk melakukan kewaspadaan nasional.

Atas dasar pertimbagan di atas, maka disusun esay ini dengan alur pikir seperti dalam lampiran ( Lihat lampiran:1 ). Selanjutnya, maka disusun judul esay : Kewaspadaan Nasional terhadap Pengaruh Pendidikan Asing sebagai Bentuk Kewaspadaan Nasional.

2. PEMBAHASAN

Adalah suatu kebahagiaan bahwa terbentuknya negara kesatuan Repulik Indonesia (NKRI) sebagai sesuatu rakhmat Tuhan YME yang harus disyukuri. Walaupun saat ini telah merupakan wilayah yang bersatu, merdeka dan berdaulat dengan kemajemukan di dalamnya, namun hal tersebut merupakan suatu konsekwensi yang harus tetap dijaga dan dilestarikan karena sebagi buah dari perjuangan panjang. Dan, karena itu maka bangsa Indonesia harus menjaganya dengan kewaspadaan nasionalnya baik ancaman dari dalam maupun dari luar negeri.

Setidaknya disarankan terdapat dua langkah dalam menjaga kewaspadaan nasional, terutama pada era reformasi ( Lemhannas, 2009), yaitu: (1) menyakinkan kepada asing/dunia internasional bahwa kita harus berani memposisikan sebagai bangsa yang berdaulat dan bermartabat dengan mengacu pada kepentingan nasional Indonesia, dengan tetap tidak henti-hentinya tahu kondisi dan situasi perkembangan internasional dengan senantiasa memahami posisi dimana kita berada serta pada posisi mana harus diambil yang dapat menguntungkan kepentingan nasional, dan (2) perasaaan satu komunitas nasional di dalam negeri harus tetap terjaga dengan menggunakan kesepakatan nasional ideologi Pancasila dan UUD 1945 sebagai acuannya.

Carut marutnya tatanan sosial pada era reformasi pada saat ini tak lepas dari akibat ketidaktepatan kita memposisikan diri di mata internasional dan mengadopsi konsep dan nilai-nilai asing yang mungkin belum atau tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar nasional kita. Jika demikian yang terjadi, maka bisa mengakibatkan berbagai bentuk ancaman.

Memang, globalisasi sebagai sebuah sistem tata kehidupan baru merupakan fenomena yang tidak dapat dihindarkan. Situasi ini menyebabkan sejumlah konsekuensi di bidang sosial, ekonomi, teknologi, dan budaya. Fenomena ini juga mengakibatkan perubahan-perubahan yang sangat strategis bagi perkembangan dan dinamika nasional suatu negara, karena di banyak hal semua itu juga mengakibatkan terjadinya situasi hilangnya batas-batas negara secara geografis, politis, dan ekonomis; termasuk dalam hal ini munculnya tingkat kompetisi yang semakin ketat antar negara untuk saling mempertahankan kepentingan-kepentingan nasionalnya. Kompetisi ini tidak saja terjadi antar negara, tetapi juga persaingan antar manusia . Namun demikian, setiap warga negara bangsa baik sebagai perorangan, kelompok, golongan, serta komponen bangsa harus mengetahui berbagai masalah aspek yang secara potensial mengancam lunturnya perasaan satu komunitas nasional Indonesia ( Lemhannas, 2009). Tentu saja termasuk dalam hal akibat pengaruh pendidikan asing yang sudah tidak lagi dapat dihindari.

Sebagai contoh, dalam praktek di masyarakat dengan diberlakukannya otonomi daerah (termasuk otonomi dalam bidang penyelenggaraan bidang pendidikan). Penerapan otonomi daerah di Indonesia berbarengan dengan tantangan globalisasi yang sangat luas, dimana keduanya memerlukan bagi masyarakat untuk menyesuaikannya. Keduanya membawa dampak dan konsekuensi. Namun, hal-hal tersebut dalam penerapan otonomi daerah juga dikenali adanya beberapa kendala yang bisa menghambat, terutama secara kelembagaan. Beberapa kendala kelembagaan dalam pelaksanaan otonomi daerah (Anwar, 2000), antara lain:

· Belum terdapat persepsi yang seragam tentang penerapan otonomi daerah, diantara instansi pusat maupun daerah.

· Tingkat kemampuan daerah sebagian masih jauh dari yang diharapkan, yang terutama kemampuan keuangan daerah selama ini masih cenderung “tergantung” pada pemerintahan pusat.

· Sumberdaya aparat pemerintah daerah dan masyarakat yang masih rendah belum sepenuhnya menunjang terlaksananya otonomi daerah.

Apabila dilihat maksud yang ingin dicapai dengan otonomi daerah yaitu menggali potensi yang dimiliki daerah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka seharusnya praktek itu harus didukung. Namun jika dalam kenyataannya justru sebaliknya, bahkan menghasilkan berbagai konflik yang mengarah pada perpecahan kedaerahan ( misalnya), maka segeralah harus dilakukan intropeksi sebagai wujud dari kewaspadaan nasional.

Diberlakukannya otonomi daerah, harus kita sadari bahwa keberadaan implementasinya bersamaan waktu dengan adanya desakan dari arus globalisi yang disertai berbagai tantangannya, yaitu: pertama, berbagai produk akan menghadapi persaingan yang tinggai dan posisi SDM rendah kualitas dan teknologi yang tidak tepat, maka akan kalah bersaing.

Kedua, arus globalisasi akan mengundang semakin terbukanya peluang investasi asing, sehingga perusahaan domestik harus bersaing dengan usaha asing di negerinya sendiri. Untuk itu diperlukan kebijakan pemerintah tentang perlunya penyertaan partner lokal , agar usaha domestik ikut maju.

Ketiga, adanya arus globalisasi, maka berbagai bentuk perlindungan bagi sekelompok pelaku ekonomi, apapun alasannya tidak dibenarkan lagi. Dan keempat, adanya tekanan kompetisi akan menyebabkan pengusaha mencari peluang upah buruh semurah-murahnya. Untuk ini, maka pemerintah seharusnya melindungi warganya perlu menetapkan upah minimum sesuai harkat dan hajat hidup kemanusiaan ( Tim Pokja Dikti, 2001). Itulah contoh penerapan otonomi daerah yang pemberlakuannya bersamaan waktu dengan terpaaan globalisasi yang sangat kencang, sehingga menuntut kewaspadaan kita.

Dengan kata lain sebenarnya adanya globalisasi atau pengaruh asing ( termasuk dalam bidang pendidikan), kita tidak dapat mundur atau menghindarinya karena komitmen sudah diberikan. Masalahnya adalah bagaimana “tanda-tanda peringatan” harus diberikan/diketahui, agar masyarakat kita dapat ikut bisa menjadi pemain yang menang, dan bukan sekedar penonton atau bahkan menjadi korban arus globalisasi tersebut karena tidak terjadinya kewaspadaan nasional yang baik.

Untuk bisa memenangkan atas globalisasi/ terhadap pengaruh asing ( termasuk dalam bidang pendidikan) agar bisa tetap waspada, maka jawabannya adalah dengan tetap menjaga mutu dari pendidikan kita. Dengan cara demikian SDM kita tidak akan terombang-ambing dan tetap bisa waspada terhadap pengaruh asing tersebut.

Adapun untuk bisa menghasilkan mutu, menurut Slamet (1999) juga terdapat empat usaha mendasar yang harus dilakukan dalam suatu lembaga pendidikan yaitu:

1. Menciptakan situasi “menang-menang” (win-win solution) dan bukan situasi “kalah-menang” diantara fihak yang berkepentingan dengan lembaga pendidikan (stakeholders). Dalam hal ini antara pimpinan lembaga pendidikan dengan staf harus terjadi kondisi yang saling menguntungkan satu sama lain dalam meraih mutu produk/jasa yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan tersebut.

2. Perlunya ditumbuhkembangkan adanya motivasi instrinsik pada setiap orang yang terlibat dalam proses meraih mutu pendidikan. Setiap orang dalam lembaga pendidikan harus tumbuh motivasi bahwa hasil kegiatannya mencapai mutu tertentu yang meningkat terus menerus, terutama sesuai dengan kebutuhan dan harapan pengguna/langganan.

3. Setiap pimpinan harus berorientasi pada proses dan hasil jangka panjang. Penerapan manajemen mutu dalam pendidikan harus dimengerti bukanlah sebagai suatu proses perubahan jangka pendek, tetapi usaha jangka panjang yang konsisten dan terus menerus. Untuk itu lembaga pendidikan harus terus mengusahakannya.

4. Dalam menggerakkan segala kemampuan di dalam lembaga pendidikan untuk mencapai mutu yang ditetapkan, haruslah dikembangkan adanya kerjasama antar unsur-unsur pelaku proses mencapai mutu. Janganlah diantara mereka justru terjadi persaingan yang mengganggu proses yang bekerjasama saling mengisi dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain untuk menghasilkan mutu sesuai yang diharapkan.

Secara umum langkah-langkah menghasilkan mutu dalam pendidikan, yaitu melalui proses kerja yang berkelanjutan (continuous improvement) yang terdiri dari: penetapan standar mutu, pelaksanaan (proses mencapai mutu), monitoring/evaluasi diri, audit mutu, rumusan perbaikan, dan peningkatan mutu secara berkelanjutan. Sedangkan usaha-usahanya dapat terdiri dari : melakukan usaha-usaha mendasar manajemen mutu yakni memperhatikan segala tuntutan dan kebutuhan “stakeholder”; mendorong motivasi instrinsik dalam lembaga untuk mengejar mutu; secara terus menerus melakukan perbaikan ke dalam; menjalin kerjasama dengan semua unsur yang terlibat dalam proses pencapaian mutu ; membawa semua unsur intern lembaga penyelenggara pendidikan menempatkan diri sebagai unsur yang dapat “melayani” fihak-fihak dapat terpuaskan dan terlayani kebutuhannya dengan baik ( Karsidi, 2008).

Untuk di Perguruan Tinggi, misalnya, penulis mengusulkan perlunya pengembangan jiwa kewirausahaan bagi mahasiswa Perguruan Tinggi, yaitu dimaksudkan untuk memberikan bekal kepada mahasiswa agar mahasiswa/alumni memiliki pola pikir, pola sikap dan pola tindak yang mengutamakan inovasi, kreativitas dan kemandirian. Dengan cara demikian, mahasiswa akan memperoleh pengetahuan tentang nilai, jiwa, sikap dan tindakan yang dilandasi oleh semangat added value, sehingga tercermin dalam berpikir, bersikap dan bertindak yang mengutamakan inovasi, kreativitas dan kemandirian.

Dalam rangka mengantisipasi perubahan-perubahan di atas, maka Perguruan Tinggi perlu merubah paradigma pendidikan dari pola old industrial education menjadi new entrepreunerial education, untuk mendorong terciptanya ”knowledge based economy”. Ingat semboyan ”knowledge is power”. Dalam rangka meningkatkan daya saing bangsa, Perguruan Tinggi sebagai lembaga yang mengembangkan ”knowledge” perlu meningkatkan kualitas sumber daya mahasiswa agar menjadi lulusan yang kompeten. Lulusan yang kompeten tidak hanya sekedar mampu menguasai pengetahuan dan teknologi di bidangnya, melainkan juga kemampuan mengaplikasikan kompetensinya dan memiliki softskill yang memadai.

Peran Perguruan Tinggi harus mampu memberikan bekal bagi lulusannya bukan hanya hardskills, tetapi juga softskills yang cukup kepada mahasiswa. Hardskills antara lain terdiri dari ilmu pengetahuan sesuai dengan bidang studi yang ditekuni (knowledge of field) dan pengetahuan tentang teknologi (knowledge of technology). Sementara itu, softskills antara lain terdiri dari kemampuan berkomunikasi baik lisan, tulisan, maupun gambar (oral and written communication), kemampuan bekerja secara mandiri atau di dalam tim (ability to work independently and in team setting), kemampuan berlogika (logical skills), dan kemampuan menganalisis (analytical skills).

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa untuk mencapai puncak keberhasilan, bukan hanya hardskills yang dibutuhkan, tetapi juga softskills. Bahkan dalam banyak hal, keunggulan seseorang pada softskills justru menjadi faktor penting yang menentukan keberhasilan hidupnya.

Potensi diri mahasiswa yang terdiri dari cipta, rasa dan karsa yang akan diaktualisasikan dalam ”karya” baik prestasi maupun kreasinya harus terus menerus diasah dan dikembangkan agar terbentuk jiwa kewirausahaan dan wawasan kemandiriannya sebagai bekal kesuksesannya kelak setelah menjadi alumni Perguruan Tinggi. Disitulah pentingnya jiwa kewirausahaan dan kemandirian, sehinga pada saatnya mahasiswa akan dihadapkan pada guncangan pengaruh global dan pengaruh pendidikan asing, ia akan dapat teguh karena bisa bersikap mandiri sebagai wujud kewaspadaannya dan menjadi bentuk sistem saringan ( filter system) untuk tetap terjaganya perasaan komunitas nasional Indonesia .

Bagaimana hubungannya dengan mewujudkan good governance?

Menurut Effendi (2005), ada tiga pilar pokok yang mendukung kemampuan suatu bangsa dalam melaksanakan good governance, yakni: pemerintah (the state), masyarakat adab, masyarakat madani, masyarakat sipil (civil society), dan pasar atau dunia usaha. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan bertanggung jawab baru tercapai bila dalam penerapan otoritas politik, ekonomi dan administrasi ketiga unsur tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang setara dan sinerjik.

Interaksi dan kemitraan seperti itu biasanya baru dapat berkembang subur bila ada kepercayaan (trust) dan partisipasi dari masyarakat. Good governance yang sehat juga akan berkembang sehat pada tingkat partisipasi masyarakat yang sehat pula, maka dari itu, perlu meninjau aspek sosial budaya dalam strategi pelaksanaan good governance.

Good governance juga dipahami sebagai kepengelolaan atau kepengarahan yang baik, sebenarnya mempunyai kesamaaan dengan fungsi manajemen dan sistem operasi prosedur. Kesamaannya adalah ketiganya sama sebagai strategi, cara atau metode berkenaan dengan pencapain tujuan bersama (bukan orang-seorang), pada suatu masyarakat negara Indonesia yang memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda-beda

Good governance menurut Kementrian Pemberdayaan Aparatur Negara, (2006) yang diartikan sebagai kepengelolaan dan kepengurusan yang baik, merupakan istilah yang sangat populer, menjadi isu sentral penyelenggaraan negara dalam sekala global. Konsep itu muncul dari upaya untuk menciptakan standarisasi pengeloalan dan kepengurusan pemerintahan yang baik, dikaitkan dengan tingkat kompetitif bidang ekonomi. Ada sembilan karakteristik yang dimiliki kepengelolaan dan kepengurusan yang baik adalah, meliputi: Satu, setiap warga negara mempunyai suara dalam formulasi keputusan, baik secara langsung maupun tidak langsung . Partisipasi dibangun atas dasar kebebasan berasasiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif. Dua, kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk HAM. Tiga, transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses- proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor. Empat, lembaga dan proses-proses harus dapat melayani stakeholders. Lima, good governance menjadi pranata kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur. Enam, laki-laki mapun perempuan berkesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka. Tujuh, poses dan lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin. Delapan, pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat bertanggungjawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders. Sembilan, para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan. Dari kesembilan karakteristik tersebut, ada empat ukuran pokok yaitu akuntabilitas, transparansi, fairness (keadilan) dan responsivitas (ketanggapan).

Jika good governance dipahami sebagai kepengelolaan atau kepengarahan yang baik, sebenarnya mempunyai kesamaaan dengan fungsi kewaspadaan nasional terutama terhadap pengaruh asing (termasuk dalam bidang pendidikian). Terpaan pengaruh asing seperti dalam ketatanegaraan ( misalnya munculnya otonomi daerah), pengaruh pendidikan asing di perguruan tinggi dan lain-lainnya, karena telah adanya kesiapan lembaga pendidikan, petugasnya, dan peserta didik dalam memfilter/ menyaring pengaruh dari konsep dan nilai-nilai asing melalui penegakan mutu pendidikan, maka jelaslah hal itu merupakan usaha mewujudkan praktek good governace itu sendiri.

3. PENUTUP

Memperhatikan uraian di atas, maka untuk peningkatan mutu lembaga pendidikan yang mampu mengikuti tuntutan perkembangan global perlu dirumuskan suatu sistem manajemen mutu pendidikan yang tepat.

Sebagai suatu rambu-rambu, lembaga pendidikan haruslah mengikuti arah paradigma baru pendidikan yaitu mengedepankan layanan mutu dengan terlebih dulu harus mampu merumuskan standar mutu layanan (yang diyakini ketepatannya), sehingga dapat menghasilkan suatu lembaga pendidikan dan lulusan yang bermutu.

Lembaga pendidikan harus melakukan usaha-usaha mendasar manajemen mutu yakni memperhatikan segala tuntutan dan kebutuhan “stakeholder”, mendorong motivasi instrinsik dalam lembaga untuk mengejar mutu, dan secara terus menerus melakukan perbaikan, serta menjalin kerjasama dari semua unsur yang terlibat dalam proses pencapaian mutu pendidikan tersebut.

Untuk bisa memenangkan terhadap pengaruh asing ( termasuk dalam bidang pendidikan) dan bisa tetap waspada, maka jawabannya adalah dengan tetap menjaga mutu dari pendidikan kita. Dengan cara demikian SDM kita tidak akan terombang-ambing dan dapat menyaring terhadap pengaruh asing tersebut. Inilah bentuk dari kewaspadaan nasional.

Kewaspadaan nasional terhadap pengaruh asing terutama dalam bidang pendidikan harus ditempatkan sebagai ’bukan tidak percaya diri’ atas pendidikan nasional kita selama ini, tetapi harus lebih diposisikan sebagai usaha menyesuaikan diri agar tidak tertinggal dengan pendidikan di luar negeri. Dengan demikian maka, kalaulah kita mengadopsi pengaruh-pengaruh asing dalam pendidikan, lalu bukan berarti melebur potensi pendidikan nasional yang sudah lama kita bangun selama ini. Setiap warga negara bangsa baik sebagai perorangan, kelompok, golongan, serta komponen bangsa harus mengetahui berbagai masalah aspek yang secara potensial mengancam lunturnya perasaan dan identitas satu komunitas nasional Indonesia.

Langkah-langkahnya, antara lain dapat melalui proses kerja yang berkelanjutan (continuous improvement) dalam menghasilkan mutu pendidikan nasional yang dapat terdiri dari: penetapan standar mutu, pelaksanaan (proses mencapai mutu), monitoring/evaluasi diri, audit mutu, rumusan perbaikan, dan peningkatan mutu secara berkelanjutan. Sedangkan usaha-usahanya dapat terdiri dari : melakukan usaha-usaha mendasar manajemen mutu yakni memperhatikan segala tuntutan dan kebutuhan “stakeholder”; mendorong motivasi instrinsik dalam lembaga untuk mengejar mutu; secara terus menerus melakukan perbaikan ke dalam; menjalin kerjasama dengan semua unsur yang terlibat dalam proses pencapaian mutu ; membawa semua unsur intern lembaga penyelenggara pendidikan agar bisa menempatkan diri sebagai unsur yang dapat “melayani” fihak-fihak dapat terpuaskan dan terlayani kebutuhannya dengan baik. Langkah dan usaha yang demikian adalah cerminan praktek dari good governance.

Jika good governance dipahami sebagai kepengelolaan atau kepengarahan yang baik, sebenarnya mempunyai kesamaaan dengan fungsi kewaspadaan nasional terutama terhadap pengaruh asing (termasuk dalam bidang pendidikian). Langkah-langkah tersebut pada esensinya adalah upaya menumbuhkan sistem saringan ( filter system) terhadap pengaruh pendidikan asing sebagai perwujudan dari kewaspadaan nasional. Jika kewaspadaan nasional terhadap pendidikan asing dapat dilakukan dengan usaha-usaha seperti tersebut di atas, maka jelaslah bahwa hal itu akan merupakan bentuk dari mewujudkan good governance (erka).

ravikCeramah1. PENDAHULUAN Salah satu implikasi globalisasi dalam pendidikan yaitu adanya deregulasi yang memungkinkan peluang lembaga pendidikan (termasuk perguruan tinggi asing) membuka sekolahnya di Indonesia. Oleh karena itu persaingan antar lembaga pendidikan akan semakin berat di masa depan. Mengantisipasi perubahan-perubahan yang begitu cepat serta tantangan yang semakin besar...KITA akan menjadi seperti apa yang KITA pikirkan.