Mengawali sarasehan sore kemarin, Pak Karso mengutip sabda nabi Muhammad SAW bahwa tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah yang suci sampai ia bisa berkata-kata, maka ibu dan bapaknyalah yang paling berperan menjadikan anaknya akan jadi apa di kemudian hari. Lalu ditambahkannya pula bahwa orang tua adalah lingkungan yang pertama dan utama bagi seorang manusia. Orang tuanya, baik ayah atau ibunya, haruslah menjadi teladan bagi anak-anaknya dalam proses pembentukan kepribadian dan perilakunya untuk membawa anak menuju kepada kedewasaan, karena anak-anak mulai berkembang melalui proses imitasi (meniru) tindakan orang lain.

Lik Tulus yang sudah sejak tadi menunggu, lalu menyahutnya. Apa maksud Pak Karso kok tiba-tiba ngendiko demikian? Apa ada hubungannya dengan masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh bangsa kita saat ini?

Ada pak, jawab Pak Karso, lalu meneruskan penjelasannya. Kalau saat ini banyak masalah baik, segi politik, ekonomi, sosial, budaya bahkan bencana alam yang bertubi-tubi datang ke negeri ini, kezaliman, kepalsuan, kebohongan, perusakan alam, korupsi, keserakahan, pengkhianatan amanah rakyat, dan lain-lain, tentu ada hubungannya dengan ”bagaimana sejak kecil orang tua membina dan membentuk perilaku anak-anak” di negeri ini. Terjadinya pola hubungan antara anak-orang tua dan keluarganya yang lain, sebenarnya anak telah dihadapkan pada kondisi interaktif yang secara bertahap akan menjadi bekal kemampuan untuk ”menjadi dirinya dan menjaga eksistensinya”, baik secara fisik penampilannya maupun secara psikis dan perangainya. Kalau saja saat ini kita menyaksikan orang-orang kita ( baik pemimpinnya maupun rakyatnya) cenderung berperilaku ”tidak seperti yang kita harapkan”, tentu sedikit atau banyak, hal itu karena merupakan hasil mula-mula dari bentukan interaksi dengan orang tuanya dan lalu dari lingkungannya yang lebih luas. Sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya, maka anak lalu memiliki lingkungan yang lebih luas, yaitu sekolah tempat ia belajar dan masyarakat pergaulannya di mana ia tinggal dan hidup. Itulah yang disebut sebagai lingkungan eksternal anak manusia, yang pada gilirannya akan mengisi setiap waktu kehidupannya sebagai individu.

Wah-.. wah., kalau anak saya nakal, atau berbuat menyimpang , berarti saya dong yang salah, sahut Pak Hartono yang sudah lama tidak ikut dalam sarasehan lincak ini. Jelas, tho pak … sahut mas Tomo, … lalu mengatakan: …tapi, hal demikian tidak sepenuhnya menjadi kesalahan orang tua saja. Ada andil lainnya yaitu lingkungan pergaulan anak itu sendiri. Jadi jangan terlalu menyalahkan diri sendiri Pak Harto, kalau putro panjenengan berbuat kurang baik. Menurut yang saya ketahui (kata Mas Tomo), seharusnya keluarga memang berkewajiban melakukan sosialisasi nilai-nilai dasar kemanusiaan sejak dini, dengan pola hubungan yang mengedepankan afeksi yang antara lain seperti: keteladanan, kasih sayang, dan sejenisnya. Sekolah atau lembaga pendidikan lebih banyak bertugas menempa individu untuk menguasai kompetensi dan kecakapan pengetahuan kecerdasan dan ketrampilan, serta melengkapi kemampuan anak tentang peran-peran sosial yang dilakukan di keluarga. Semua tersebut, terjadi secara sinergis antara keluarga, sekolah dan lingkungan pergaulan anak tadi, lalu membentuklah sosok individu dan perannya dalam masyarakat tempat atau wilayah di mana individu itu hidup dan berada; sejak ia masih sebagai anak-anak hingga kemudian ia sudah menjadi dewasa, baik dalam skala mikro maupun makro.

Jadi, …. sahut lik Tulus menyimpulkan, ….bahwa keluarga dan sekolah atau lembaga pendidikan serta lingkungan sosial masyarakat adalah lembaga segitiga atau tripartit pembentuk pendidikan individu, sehingga ia ”menjadi apa atau seperti apa” sekarang ini, ya Pak?.

Benar,…. benar.. jawab Pak Karso lalu meneruskan penjelasannya. Sebenarnya, manusia telah mempunyai kecenderungan berperilaku kepada yang baik- baik saja. Ia cenderung akan meninggalkan dan menjauhi kesalahan dan mengarahkan dirinya kepada berperilaku baik. Fitrah manusia yang sebenarnya adalah cenderung kepada kebaikan. Hal inilah yang sering disebut sebagai kata hati atau hati nurani. Hati nurani atau kata hati manusia selalu cenderung kepada hal-hal yang baik. Hampir tidak ada di dunia ini, seorangpun pencuri bercita-cita anaknya supaya menjadi pencuri. Tidak ada seorangpun penjahat mengharapkan anak keturunannya menjadi penjahat seperti dirinya. Pencuri dan penjahat itu melakukan pekerjaannya karena terpaksa. Betul, mereka itu melakukannya karena terpaksa, atau mungkin ada fihak lain yang memaksa. Ia telah melakukan suatu pekerjaan yang bertentangan dengan kata hati atau hati nuraninya sendiri. Ia sebenarnya ingin berusaha untuk keluar dari ”kungkungan atau jeratan” yang sulit dihindarinya tadi.

Bagaimana Pak, caranya agar kita bisa menghindari adanya hal-hal yang menyebabkan kita ”terpaksa” berbuat tidak baik, atau, bagaimana caranya agar tidak ada fihak-fihak atau kondisi tertentu yang kemudian ”memaksa” kita berbuat tidak baik? tanya Pak Harto.

Baiklah Pak, mari kita coba kaji dan perhatikan bersama, sahut Pak Dwijo yang sejak tadi sudah ada di sini. Pertama, untuk bisa menghindarinya, maka kita harus tahu bagaimana cara perbuatan tidak baik tadi menggoda dan mempengaruhi manusia. Untuk ini, maka kita harus bisa memilah dan memilih lingkungan yang terbaik bagi kita dan anak-anak kita. Kedua, kita harus bisa melakukan pendidikan hati nurani, yaitu dengan cara memelihara secara konsisten kecenderungan berbuat baik manusia tersebut pada setiap diri kita. Hati nurani sebenarnya selalu mengatakan dan cenderung kepada kebaikan, hanya saja kadang manusia tergelincir karena menuruti godaan syaitan yang terus membisikkan keburukan kepadanya. Ia lupa dan tergoda. Bertanyalah selalu kepada hati nurani, saat kita ragu-ragu dan terancam berbuat keburukan. Istilah yang sering kita dengar adalah perturutkan apa kata hati kita yang terdalam, dan bukan menuruti bisikan syaitan. Agar pendidikan tersebut berhasil , kembangkanlah sistim penyaring untuk bisa membedakan mana yang kata hati dan mana bisikan syaitan atau ajakan kepada kejelekan. Tentunya, agamalah yang paling baik digunakan sebagai penyaring, yaitu menjaga keimanan kita. Selain itu, dalam perjalanan hidup kita hendaknya selalu bisa mawas diri. Selalu bertanyalah dan mempertanyakan diri –sebagai bagian dari refleksi atas apa yang sudah kita lakukan– sehingga bisa menjadi jembatan bagi kita untuk tidak terjerumus lebih dalam kepada kesalahan yang terus-menerus . Akhirnya, siapkan kesediaan diri untuk berubah, menuju kebaikan.

Jadi, sebenarnya kita semua masih bisa kembali kepada kebaikan ya Pak? sahut Lik Tulus, yang terkesan sudah pesimis.

Benar, masih bisa …Pak, jawab Pak Karso . Bangsa kita ini juga masih bisa berubah menjadi baik. Semua kita yang telah terlibat dalam perilaku tidak baik, bisa kembali dan dikembalikan kepada kebaikan, karena hati nurani kita semua baik. Mungkoin saja kita sedang lupa dan telah terjerumus kepada kesalahan yang dalam. Sebelum terlanjur lebih dalam lagi, sebaiknya kita semua perlu melakukan introspeksi atau mawas diri . Tanyakan dan kembalikan semuanya kepada hati nurani. Semua yang hadir lalu merenung……. semuanya diam. Lalu, …..masing-masing meninggalkan lincak satu per satu, menuju rumah masing-masing.

Wasssalam

ravikLincak Pak KarsoMengawali sarasehan sore kemarin, Pak Karso mengutip sabda nabi Muhammad SAW bahwa tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah yang suci sampai ia bisa berkata-kata, maka ibu dan bapaknyalah yang paling berperan menjadikan anaknya akan jadi apa di kemudian hari. Lalu ditambahkannya pula...KITA akan menjadi seperti apa yang KITA pikirkan.