Sore kemarin di lincaknya, hati Pak Karso gundah. Dia memikirkan mengapa terjadi bencana alam di sekitarnya sambung menyambung, silih berganti, bagaikan tak mau berhenti. Kejadian bencana yang berpindah dari suatu peristiwa ke peristiwa lainnya, dan dari bidang satu ke bidang lainnya. Ada yang skala bencananya luas dan besar dan ada yang kecil saja. Yang mengherankannya, adalah kejadian keberuntunannya itu. Dalam benaknya, terbayang pertanyaan, masihkah akan ada bencana lagi? Pak Karso sambil menarik nafas panjang, tiba-tiba datang menghampirinya Pak Dwijo, seorang guru sepuh yang sering datang di lincak ini.

Kok sajak suntuk, ada apa, Pak? sapa pak Dwijo menyelidik. Sambil kaget Pak Karso lalu menjelaskan: …begini lho pak, saya ini sedang nggagas kejadian tentang kepedulian sosial dari orang-orang dan kita ini terhadap musibah-musibah yang terjadi di sekitarnya. Dahulu, kalau ada suatu kejadian musibah yang dialami oleh orang lain, misalnya saja terjadi kecelakaan lalu lintas yang pada saat kita sedang melintasi jalan tempat kejadian tersebut, maka sikap dan perilaku kita hampir pasti setidaknya ingin berhenti untuk mengetahui siapa yang mengalami dan juga mungkin ingin menolongnya. Itulah tindakan kepedulian. Tapi, rasanya saat ini sudah jarang orang bertindak yang demikian. Hal ini bisa jadi karena seringnya terjadi kecelakaan lalu lintas, lalu membuat orang cenderung berpikir bahwa hal tersebut bukanlah urusannya, karena secara fungsional toh telah menjadi urusan polisi lalu lintas. Yang sedang saya pikirkan adalah … apakah jika bencana alam dan bencana fisik lainnya telah bertubi-tubi terjadi, lalu akankah orang juga berpandangan fungsional seperti tadi?. Untuk urusan bencana dan musibah, hanyakah akan dipersepsi menjadi urusan departemen atau organisasi sosial. Kalau saja nanti demikian yang terjadi, maka bukankah ini merupakan suatu bencana perilaku kepedulian sosial kita?
Wah.. wah.. wah.. ini merupakan hal berat untuk dijawab pak. Tapi,… kalau boleh saya menyarankan kepada Pak Karso, sebaiknya kita jangan terlalu menjadikan masalah sosial sebagai masalah yang seakan-akan hanya menjadi wilayah masalah kita pribadi . Toh ini masalah kita bersama, sahut Pak Dwijo. Saya sendiri juga sudah lama prihatin tentang sikap dan perilaku kebanyakan orang di sekitar kita yang sudah begitu cepat berubah dari kondisi ”guyub sosial” mengarah ke patembayan atau individualistik. Konon, katanya dalam kajian sosiologi hal ini merupakan konsekwensi dari pilihan tranformasi ke masyarakat industri. Apakah ini berarti bisa kita katakan bahwa masyarakat kita sudah tumpul hatinya, karena bencana yang datang silih berganti, lalu dianggapnya hal tersebut sebagai biasa-biasa saja. Apakah ini berarti bahwa orang mulai kehilangan kepedulian sosialnya?.
Mas Warto yang sejak tadi sudah ikut mendengarkan obrolan ini, lalu menyahutnya. Seperti halnya dalam berita koran atau media massa lainnya, rasanya masyarakat kita memang sudah biasa disuguhi dan diarahkan sikap dan perilakunya oleh pewartaan media massa. Ambil contoh misalnya kejadian tentang gempa bumi tahun lalu di Yogya dan Klaten. Sungguhpun akibat dari kejadian itu belum selesai, namun perhatian orang sudah berganti pindah yang terarah kepada peristiwa musibah lainnya seperti: lumpur Lapindo Brantas, hilangnya pesawat terbang, tenggelamnya kapal laut, banjir Jakarta, banjir Solo, dan lain-lain. Sampai-sampai begitu terjadi peristiwa banjir di Solo (walaupun hal itu sebagai peristiwa yang jarang terjadi), bagi orang Solo sendiri seakan-akan peristiwa banjir itu dianggapnya sebagai peristiwa ”kecil dan biasa” yang kurang perhatian. Perilaku kita sudah terbiasa terbentuk oleh lingkungan dan peristiwa yang melingkupi kita.
Padahal kalau kita cermati rentetan kejadian dari musibah yang terjadi, peristiwa bencana sebenarnya hanyalah merupakan awal dari penderitaan yang akibatnya bisa dirasakan cukup panjang. Pasca gempa, pasca banjir, pasca flu burung, dan pasca bencana lainnya pasti masih ada serentetan penderitaan yang memerlukan kepedulian dan bantuan orang lain agar yang kena musibah bisa segera bangkit dari penderitaannya, ya pak? sahut Lik Tulus.
Benar, pak. Jawab Pak Karso, lalu melanjutkan. Mudah-mudahan saja mereka yang terkena musibah bencana alam atau fisik bisa segera bisa bangkit walaupun mereka hanya mendapatkan perhatian perlakuan yang pendek dari kebanyakan masyarakat dan mungkin juga oleh negara.
Sebenarnya yang jauh lebih penting adalah justru membuat program pencegahan bencana daripada penanggulangannya, sahut Pak Dwijo. Agar tidak terjadi banjir, misalnya, setiap orang harus sadar lingkungan, baik meliputi sistim sanitasinya, membuang sampah pada tempatnya, tidak menghuni daerah perlindungan banjir, membuat resapan air, bersedia menanam tanaman pelindung dan sebagainya. Seharusnya dibuat program jangka panjang yang sistemik oleh pemerintah dengan mengundang dan melibatkan partisipasi masyarakat secara luas. Janganlah apa-apa yang terkait dengan bencana selalu hanya mendapatkan penanganan perlakukan yang pendek, secara sporadik dan adhoc serta tidak berkelanjutan. Hendaknya para pemangku kepentingan, terutama departemen terkait terus-menerus menaruh perhatian pada masa pasca bencana, setelah menanganinya pada saat bencana itu terjadi.
Bagaimana caranya agar masyarakat tetap peduli terhadap kesengsaraan orang lain, sementara masyarakat mulai berubah kepada sikap individualistik, pak? tanya Lik Tulus polos.
Manusia itu pada dasarnya baik dan suka memberi, sahut Pak Dwijo. Oleh karena itu, maka perlu dibangun dan dipelihara nilai-nilai luhur bermasyarakat untuk mewujudkan kapital sosial berupa kepedulian sosial. Sungguhpun dalam struktur sosial masyarakat telah tersedia kelompok fungsional yang sengaja digaji/dibayar untuk urusan itu, tetapi jauh akan lebih dahsyat kekuatannya jika tersedia relawan-relawan sejati dari kalangan masyarakat itu sendiri yang peduli terhadap masalah-masalah sosial di sekitarnya. Hal itu akan terwujud dalam suatu kondisi masyarakat yang mampu memprakarsai dan berupaya memenuhi kebutuhan, kepentingan atau mengatasi persoalan bersama dan/atau menyatakan kepedulian sosialnya. Sebaliknya, jika terjadinya suatu bencana (seperti yang telah terjadi beruntun saat ini) dan lalu munculnya akibat ikutan pasca bencana hanya dianggapnya sebagai hal yang biasa saja, maka hal ini bisa menjadi petunjuk akan atau telah terjadinya suatu ”bencana perilaku kepedulian sosial”. Dalam kondisi demikian, mungkin kepedulian sosial seseorang telah luntur, telah tercerabut dari akarnya yaitu dari kelompok manusia yang pada dasarnya cenderung baik dan suka memberi. Mudah-mudahan bukanlah demikian bagi masyarakat sekitar kita di sini, tutup Pak Dwijo… lalu disahuti …amiiinn.. bersama-sama dari semua yang hadir.
Mengakhiri obrolan sore itu, Pak Karso lalu mengajak semua yang hadir untuk berdo’a mudah-mudahan bangsa yang kita cintai ini sudah tidak lagi akan mendapatkan bencana termasuk bencana perilaku kepedulian sosial terhadap sesama yang tertimpa bencana. Semoga (rk).

ravikLincak Pak KarsoSore kemarin di lincaknya, hati Pak Karso gundah. Dia memikirkan mengapa terjadi bencana alam di sekitarnya sambung menyambung, silih berganti, bagaikan tak mau berhenti. Kejadian bencana yang berpindah dari suatu peristiwa ke peristiwa lainnya, dan dari bidang satu ke bidang lainnya. Ada yang skala bencananya luas dan besar dan...KITA akan menjadi seperti apa yang KITA pikirkan.