KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG PROGRAM STUDI DI PT
Keberadaan suatu program studi di Perguruan Tinggi (PT) dipandang sebagai sebuah unit program, yang keberadaannya sangat tergantung kebutuhan pasar. Suatu program studi bisa on atau off tergantung pada peminat yang membutuhkan.
Lepas dari setuju dan/atau tidak, demikianlah arah kebijakan pemerintah tentang program studi di perguruan tinggi. Lalu harus bagaimana?
Beberapa prodi di lingkungan FIP/JIP telah mengalami off karena dipandang kurang/tidak dibutuhkan oleh pasar. Tetapi, bukan berarti kebutuhan akan item pendidikan itu tidak ada.
Menurut uraian Tim Pokja Pendidikan Tinggi (2001) masalah utama hubungan antar program studi di perguruan tinggi adalah adanya pemisahan batas atau tembok antar disiplin ilmu yang sangat kuat. Hal ini mengurangi terjadinya kolaborasi antara para dosen dan mahasiswa yang berasal dari bidang-bidang keilmuan yang berbeda dalam rangka mengembangkan program dan kegiatan. Sementara masalah yang dihadapi dalam dunia nyata di luar perguruan tinggi amat jarang terpilah-pilah ke dalam segmen-segmen seperti itu.
Baik otoritas pemerintah pusat maupun pimpinan perguruan tinggi haruslah dapat menghilangkan aturan atau kondisi yang dapat menghambat terjadinya kolaborasi antar program studi, yang secara horizontal berlaku di antara berbagai disiplin keilmuan dan secara vertikal antara program Diploma, S1, dan program pascasarjana.
LPTK harus dapat mengembangkan pada ”meruntuhkan tembok” antar program studi, termasuk bagaimana memanfaatkan potensi SDM yang ada di setiap program studi di lingkungan LPTK tersebut.

CONCURENT DAN CONSECUTIVE MODEL
Jelaslah bahwa orientasi pemerintah lebih bersifat pragmatis yaitu kepada kebutuhan pasar. Jika pasar tidak membutuhkan maka ditutuplah suatu program studi, kecuali jika dapat mendikte pasar suatu program studi akan aman dari penutupan (off) dan bisa on terus.
Masalah bagi jurusan Ilmu Pendidikan/FIP, bagaimana agar bisa mendikte pasar, menciptakan kebutuhan supaya memerlukan jasa layanan tersebut.
Perdebatan antar dua model dalam sistem pengadaan guru di Indonesia antara concurent model dengan consecutive model sudah direncanakan cukup lama. Walaupun Tim Pokja Pendidikan Tinggi (2001) telah menawarkan consecutive model sebagai pilihan, namun sampai sekarang pun belum selesai diputuskan. Sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan terdahulu, dikenal dua tipe pendidikan prajabatan calon guru, yaitu concurent model dan consecutive model. Dalam concurent model, materi bidang studi/disiplin ilmu diberikan bersama-sama atau paralel sejak semester I dengan materi kependidikan, khususnya proses belajar mengajar. Model ini dapat dikatakan menjadi “satu-satunya” model yang secara luas dianut oleh LPTK (IKIP, FKIP, STKIP) di masa lalu, sebelum IKIP-IKIP itu berubah menjadi universitas.
Dalam model kedua para calon guru dibekali terlebih dahulu – selama masa pendidikan tertentu – dengan pengunaan materi/disiplin ilmu yang akan diajarkannya kelak, baru kemudian mereka diberi materi kependidikan; jadi dilaksanakan secara berurutan.
Kedua model ini mempunyai argumen masing-masing, juga memiliki pendukungnya yang luas. Misalnya, mengingat tugas guru bukan hanya mengajar melainkan juga membina kepribadian peserta didik, maka menurut pendukung concurent model, pembinaam calon guru seharusnya dilakukan sejak mahasiswa masuk ke pendidikan keguruan agar kepribadiannya sebagai calon guru dan kecintaan akan profesi kependidikan tumbuh dengan baik. Pembinaan hal-hal yang sifatnya kepribadian tersebut diyakini tidak bisa dilakukan sesaat, hanya beberapa bulan di akhir pendidikan.
Sebaliknya, consecutive model berargumen bahwa yang paling penting bagi guru adalah penguasaan materi bidang studi, sedangkan aspek kependidikannya paling penting bagi guru adalah penguasaan materi bidang studi, sedangkan aspek kependidikannya lebih merupakan penunjang belaka sehingga dapat diberikan kemudian dengan masa pendidikan yang lebih singkat. Argumen klasik dari kelompok ini ialah dengan menyebut beberapa contoh, bahwa seseorang bisa menjadi guru yang baik tanpa pernah secara sistematis mempelajari ilmu pendidikan dan pengajaran. Pendukung aliran ini juga menyebutkan bahwa penganut model concurent “yang menjadi lawannya” sering terlalu keasyikan dengan aspek metodologis dalam pendidikan keguruan, sehingga mengabaikan aspek materi di bidang studinya.
Sayangnya studi-studi terdahulu di Indonesia dan di banyak negara lainnya yang mencoba menelaah potensi keunggulan dan kelemahan masing-masing model ini tidak sampai pada hasil yang konklusif dan meyakinkan akibat banyaknya faktor yang tidak turut diperhitungkan (dalam bahasa teknis disebut faktor-faktor yang mengancam validitas internal suatu penelitian), disamping studi-studi itu sendiri memberikan hasil yang berbeda-beda: ada yang mengunggulkan model pertama, dan ada juga yang ‘memenangkan’ model kedua. Kontroversi, atau bahkan debat ini belum dan tampaknya tidak akan pernah berakhir. Dapat dikatakan bahwa kalangan yang berkecimpung dalam lingkungan lembaga pendidikan tenaga kependidikan masih cenderung setuju pada model yang pertama, sedangkan kalangan dari luar perguruan tinggi kependidikan cenderung kepada model yang kedua.
Bagaimana lalu sikap kita? Peran jurusan Ilmu Pendidikan dan/atau FIP LPTK juga sangat tergantung pada sikap dan pilihan tersebut.
Untuk itu, perlu memperhatikan pendapat dan kritik Prof. Winarno Surakhmad (2005) bahwa apa mungkin diterapkan Pendidikan tanpa Ilmu Pendidikan (PENTIP).
Kita tentu tidak bisa mereduksi pendidikan dari pengertian ”mendidik” menjadi hanya ”mengajar”. Pendidikan bukanlah sekedar mentranfer. Calon-calon guru juga tidak cukup berbekal bidang ilmu tertentu yang akan diajarkan (content area) ditambah kemampuan bagaimana mentransfer yaitu ilmu pendidikan dan pengajaran (process area). Aspek pembentukan kepribadian sebagai guru yang berperan sebagai ”yang dapat digugu dan ditiru” dalam konteks pengertian pendidikan seperti dikemukakan Driyarkara (Suwarno, 2006) bahwa inti pendidikan adalah pemanusiaan manusia muda, belumlah cukup hanya dengan aspek content dan process tersebut.
Untuk kita bisa bersikap, kita perlu renungkan juga amanah UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pengertian pendidikan adalah: usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasaan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Mendasarkan pada hal-hal di atas berarti perlu perlakuan bagi calon guru dengan apa yang disebut ”pembentukan kepribadian guru”.

ravikCeramahArtikelKEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG PROGRAM STUDI DI PT Keberadaan suatu program studi di Perguruan Tinggi (PT) dipandang sebagai sebuah unit program, yang keberadaannya sangat tergantung kebutuhan pasar. Suatu program studi bisa on atau off tergantung pada peminat yang membutuhkan. Lepas dari setuju dan/atau tidak, demikianlah arah kebijakan pemerintah tentang program studi di...KITA akan menjadi seperti apa yang KITA pikirkan.